Di Tan Artspace, Semarang, pada sebuah sore 17 Agustus yang merdeka tapi masih terasa “berkutu”, para pengunjung pameran dikejutkan oleh amplop-amplop misterius. Bukan undian berhadiah. Bukan pula surat panggilan kerja. Tapi ulah seorang kartunis: M. Syaifuddin Ifoed, seniman bergaya satir dari Serpong Utara yang tak pernah kehabisan akal untuk membuat humor terasa pedih dan menyentil.
Amplop itu dibagikan diam-diam. Gerilya kecil, dibantu sohibnya, Tiyok Black alias Kustiono yang belum punya ranjang, layaknya misi rahasia menyebarkan virus kegelisahan dan kekonyolan. Saat dibuka, isinya justru pukulan lembut ke kepala: dua stiker dan sepucuk surat berkop resmi—atau tepatnya, resmi absurd. Satu stiker bergaya prangko bertuliskan 19.000 Lowongan” — simbol harapan yang pernah ditebar pemerintah dan kemudian lenyap bagai asap. Stiker kedua, lebih subtil: mesin ketik tua, mengetikkan naskah Pancasila. Tapi, saat sampai di sila kelima — “Keadilan Sosial…” — kertas itu kosong. Hanya titik-titik. Sila-nya ngilang, Pak!
Lewat gurauan tipis yang bernas, Ifoed mempertanyakan: di mana keadilan itu kini bersembunyi? Apakah di laci meja kementerian? Di balik etalase “meritokrasi”? Atau justru tertinggal di naskah naskah pidato yang terus-menerus diucap tanpa makna?
Melalui surat yang ia sebut “penting dan lucu”, Ifoed melancarkan kritik berbalut candaan: bagaimana mungkin 19.000 lowongan bisa hilang hanya karena “tidak ada yang memenuhi syarat”? Apa rakyat Indonesia sedungu itu? Atau memang syaratnya terlalu mustahil bagi rakyat biasa?
Kita tertawa, tapi getir. Karena inilah seni kartun: membuat kita tersenyum sambil merenung, bahkan kadang mencak-mencak. Di tangan Ifoed, kritik bukanlah makian. Ia adalah lelucon elegan, penuh sarkasme yang menggigit namun santun.
Di ruang pamer yang penuh warna dan garis-garis lucu, ada satu kebenaran yang tak bisa dihapus penghapus humor: kita sudah merdeka delapan dekade, tapi belum tentu adil, apalagi sejahtera.
Dan mungkin, untuk tetap waras, kita hanya bisa menertawakan semua ini.
Sebelum akhirnya, kita benar-benar mati kutu. (Christian Saputro)




