Sumaterapost.co | Pringsewu – 30 Juli setiap dunia memperingati Hari Anti Perdagangan Manusia, untuk Tahun 2022 ini mengambil tema
Thema “Use And Abuse Of Technology“ ungkap Sr. Katarina FSGM.
Dijelaskannya, hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia, dimaksudkan untuk menentang segala bentuk perdagangan manusia yang dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).
Seperti ungkapan Syamsuddin dalam abstrak penelitian yang berjudul Bentuk-Bentuk Perdagangan Manusia dan Masalah Psikososial Korban, kasus perdagangan orang ini punya beberapa bentuk. Mulai Proses, Cara dari tujuan pengiriman orang tersebut, berdasarkan korbannya, hingga bentuk eksploitasinya.
Menurut Syamsuddin, masalah perdagangan manusia ini bisa mendorong korban mengalami hilangnya eksistensi diri, ketakutan, depresi, frustasi, trauma, perasaan tidak berdaya, self blaming, tekanan mental, hingga pelabelan dan mengisolasi diri terhadap dunia sosialnya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia melalui situsnya menjelaskan bahwa perdagangan manusia merupakan tipe kejahatan transnasional yang tentunya punya pengaruh penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia pun lahir untuk mengatasi permasalahan perdagangan manusia tersebut.
Lantas, seperti apakah sejarah penetapan tanggal tersebut hingga menjadi hari peringatannya? Sejarah Peringatan Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia 30 Juli ?
Dalam situs Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terungkap bagaimana catatan sejarah penetapan Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia. Sejak 2003, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), sudah mengumpulkan 225 ribu kasus perdagangan manusia. Setelah itu, semakin banyak negara melaporkan kasus perdagangan manusia.
Memasuki tahun 2006, The United Nations Economic and Social Council (ECOSOC), meminta dunia untuk memperkuat bantuan teknis kepada negara-negara yang menggeluti perdagangan manusia. Bahkan, kala itu pemerintah Jepang menyelenggarakan koordinasi secara internasional dalam melawan perdagangan manusia. Dalam pertemuan tersebut, beberapa organisasi, yakni ILO, IOM, UNICEF, UN Women, UNHCR, dan UNODC, mendapatkan keputusan untuk membentuk kelompok penentang perdagangan manusia.
Kemudian, pada bulan Maret 2007, kelompok yang dinamakan Inter-Agency Coordination Group Against Human Trafficking (ICAT) lahir. Rencana pun berlanjut hingga 2010, saat Majelis Umum PBB membuat rencana memerangi perdagangan manusia dengan terciptanya “Dana Perwalian Sukarela-PBB Pada 2013, Majelis Umum membuat resolusi bernomor A/RES/68/192 dan menetapkan tanggal 30 Juli sebagai Hari Anti Perdagangan Manusia.
Dalam resolusi tersebut, setidaknya terdapat poin tujuan berupa “meningkatkan kesadaran tentang situasi korban perdagangan, mengupayakan kemajuan korban, dan melindungi hak-hak korban”.
Tema Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia 30 Juli 2021 Menurut PBB, tema hari peringatan 30 Juli ini adalah “Suara Korban Memimpin”. Dengan menggunakan tema ini, korban perdagangan manusia digunakan sebagai pusat kampanye. Atau dengan kata lain, para korban yang sudah mengalami rehabilitasi ini akan berbagi pengalamannya. Mereka bisa saja memberikan berbagai macam langkah efektif agar hal serupa yang pernah dialaminya tidak terjadi lagi. Hal ini tentu saja berpengaruh dan punya peran besar dalam memerangi perdagangan manusia yang masih terjadi di berbagai belahan dunia.
Kepala Misi International Organization for Migration (IOM), Louis Hoffman mengungkapkan kemitraan dan kerja sama sangatlah penting dalam menyukseskan usaha kita bersama dalam memerangi perdagangan orang. “Kemitraan antara pemerintah, swasta, serikat pekerja, auditor supply chain, agen perekrut dan lainnya sangatlah penting. Para aktor ini tidak hanya dapat berperan untuk menerapkan praktik-praktik yang dapat mengurangi risiko terhadap eksploitasi dan perdagangan orang akan tetapi mereka juga memiliki posisi strategis tersendiri.
Selain itu, di tengah pandemi Covid-19 ini komunitas anti perdagangan orang akan menghadapi tantangan baru sehingga perlu untuk terus berevolusi, beradaptasi, dan menemukan cara-cara inovatif untuk mengidentifikasi tren dan kerentanan TPPO di tengah masa pandemi.
“Untuk itu, IOM akan terus berkomitmen untuk memerangi perdagangan orang bersama dengan pemerintah Indonesia, organisasi masyarakat sipil, kelompok berbasis kepercayaan, sektor privat, komunitas internasional, dan masyarakat luas lainnya,” ungkap Louis.
“Berbagai upaya telah, sedang, dan akan terus dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk mencegah terjadinya TPPO, utamanya terhadap perempuan dan anak. Diperlukan upaya sinergis berbagai pihak terkait kebijakan, program, dan kegiatan pada semua lini agar memiliki daya ungkit tinggi untuk menghapuskan faktor penyebab TPPO yang sangat kompleks. Selain itu, upaya penanganan juga diperlukan untuk dapat melindungi dan memberikan hak-hak korban dan saksi, serta penegakan hukum yang memberikan efek jera bagi pelaku juga harus dilaksanakan,” ungkap Menteri Bintang dalam sambutannya pada Seminar Nasional memperingati Hari Dunia Anti Perdagangan Orang dengan tema “Antisipasi Risiko Perdagangan Orang Pasca Pandemi dan Masa Adaptasi Kebiasaan Baru”.
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan yang berdampak cukup besar, baik terhadap laki-laki maupun perempuan, orang dewasa, dan anak-anak. Korban-korban ini dieksploitasi di berbagai sektor, antara lain domestik, hiburan, konstruksi, pariwisata, seks, kehutanan, perikanan, pertambangan, dan sektor lainnya. Pelaku TPPO sebagian besar merupakan kelompok yang terorganisir dan memanfaatkan jaringan tanpa batas.
Indonesia merupakan salah satu negara sumber, transit, atau tujuan TIP. Praktik TPPO di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh kemiskinan, pengangguran, ketimpangan gender, dan mudahnya akses terhadap pemalsuan dokumen. Selain itu, latar belakang TPPO juga mencakup banyak faktor, mulai dari tekanan ekonomi, kurangnya pendidikan yang layak, hingga upaya negara yang kurang optimal dalam melindungi rakyatnya.
Dorongan untuk memperkuat penanganan dan penindakan TPPO semakin kuat, meski dihadapkan pada kompleksitas bentuk kejahatan yang menyebabkan semakin banyak tantangan dalam penanganannya.
Di Indonesia, TPPO diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang, yang mengatur tentang bentuk, sanksi, dan hukum acara dalam penanganan TPPO. Hingga 15 tahun implementasinya, undang-undang tersebut masih menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya.
Menurut Laporan TPPO 2021 dari Pemerintah Amerika Serikat, Indonesia masih berada di Tier 2. Salah satu tantangan dalam penanganan TPPO adalah pendataan yang pelaksanaannya belum maksimal. Tantangan dalam pengumpulan data dapat menghalangi pemerintah untuk menyelidiki, menuntut, dan menghukum para pelaku.
Talitha Kum Indonesia memiliki jaringan anggota yang tersebar diseluruh Indonesia, namun mereka belum semuanya mengetahui dan memahami apa dan siapa itu Talitha Kum ?
Maka dalam rangka Hari Memerangi Perdagangan manusia kami dari Gerakan Nasional Anti Human Trafficking Talitha Kum Indonesia memanfaatkan momen baik ini untuk menyapa remaja diseluruh Indonesia terutama yang tinggal di Asrama-asrama dibawah bimbingan para suster, pastor dan bruder, untuk menumbuhkan kader/ Duta-duta muda Mengakhiri Perdagangan Orang dimuka Bumi Indonesia tercinta.
6 Duta muda/remaja pemenang Lomba Pidato Akhiri Perdagangan Orang di muka Bumi, diseleksi dari ratusan peserta dari 30 Sekolah Tingkat SMU di Kabupaten Pringsewu yang telah mengikuti sosialisasi Lika-liku TPPO di sekolah masing-masing. Dan 6 duta remaja ini, kedepannya akan mengkampanyekan End Human Trafficking dari satu sekolah ke sekolah yang lain , baik tingkat SMP maupun SMU sehingga mereka semakin menjiwai panggilan mereka untuk turut ambil bagian menjawab kebutuhan social kemanusiaan di jaman ini. Papar Sr. Katarina FSGM.
(Andoyo)




