Yogyakarta — Di tengah meningkatnya tantangan intoleransi dan sempitnya ruang dialog antarumat beragama di Indonesia, Institut DIAN/Interfidei tetap berdiri tegak sebagai salah satu garda depan gerakan antariman di Tanah Air. Tahun ini, Interfidei genap berusia 34 tahun—usia yang menandai konsistensinya dalam merawat ruang perjumpaan lintas iman dan keyakinan dengan penuh keberanian dan kesetiaan pada nurani.
Untuk memperingati perjalanan ini, Interfidei bekerja sama dengan Paramadina Center for Religion and Philosophy (PCRP) Universitas Paramadina menggelar webinar bertajuk “Gerakan Antariman di Tengah Persoalan Intoleransi: 34 Tahun Interfidei” pada Kamis, 7 Agustus 2025. Webinar ini menghadirkan narasumber lintas latar belakang: Dr. Budhy Munawar Rachman (Direktur PCRP), Elga Sarapung (Direktur Eksekutif Interfidei), dan Dr. Abidin Wakano (Rektor UIN Ambon), dengan moderator Khoirotun Nisak dari PCRP.
Interfidei lahir tahun 1991, di masa gelap Orde Baru ketika agama-agama mulai dijadikan alat politik dan diskriminasi terhadap kepercayaan lokal menguat. Di tengah tekanan itu, para pendiri Interfidei justru memilih jalan dialog. Mereka meyakini bahwa agama tanpa iman hanya akan menjadi ritual kosong, dan bahwa iman yang hidup adalah yang membuka diri terhadap sesama—tak peduli beda keyakinan atau budaya.
Selama tiga dekade lebih, Interfidei telah bekerja bersama anak muda, pemimpin komunitas agama dan kepercayaan, guru-guru, hingga kepala sekolah. Tema-tema yang diangkat berakar dari pengalaman nyata: prasangka, stereotip, klaim kebenaran, dan konflik antarumat. Dalam 15 tahun terakhir, fokus Interfidei bergeser ke tema “Mengelola, Memaknai, dan Merawat Perbedaan.”
Tak hanya di level nasional, Interfidei juga aktif membangun jejaring internasional lewat Jaringan Antar-Iman Indonesia dan organisasi global seperti Religions for Peace. Prinsip dasar Interfidei tetap sederhana namun dalam: bekerja dengan iman dan hati nurani.
Dalam refleksi perjalanannya, Interfidei bukan sekadar institusi, melainkan ruang spiritual dan sosial yang terus menyalakan lilin di tengah gelapnya prasangka dan kekerasan atas nama iman. (Christian Saputro)




