Sumaterapost.co | Pringsewu – Warga Pringsewu awalnya menyambut gembira dengan adanya pembuatan sertifikat tanah melalui prona, yang hanya membayar jasa administrasi.
Namun kegembiraan itu sirna ketika sertifikat akan di jaminkan ke bank untuk memperoleh pinjaman dari Bank, dengan maksud untuk modal usaha di masa pandemi covid -19 ini, ternyata harus gigit jari, pasalnya di sertifikat tertera Terhutang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang harus dibayarkan terlebih dahulu hingga puluhan juta rupiah.
Mendengar harus membayar PBHTB nya terlebih dahulu, maka wajib pajak membuat surat keberatan ke Bapenda, karena diakuinya tidak ada sosialisasi yang jelas dari pihak. Pemerintah Daerah.
Isi surat yang dilayangkan oleh (Ryp) salah satu warga di Kecamatan Ambarawa, ditujukan ke kepala Bapenda Pringsewu, Menyatakan bahwa yang bersangkutan, keberatan, dengan adanya pajak terhutang yang tertera pada sertifikat PRONA, menurutnya pembayaran BPHTB terlalu besar. Meskipun ada perhitungan – perhitungan yang di tetapkan oleh daerah tetapi, masih terlalu memberatkan masyarakat, oleh karena itu kami mohon kepada pemerintah daerah untuk mempertimbangkan ulang mengenai pajak terhutang pada sertifikat PRONA terbaru. Karena rata-rata masyarakat tidak ada yang tahu adanya BPHTB saat sosialisasi. Maka dari itu kami mohon kepada pemerintah setempat untuk memperhitungkan ulang dengan adanya PRONA tersebut, adanya BPHTB.
“Surat yang dilayangkan ke Bapenda Pringsewu hingga saat ini belum ada jawaban yang pasti, justru si wajib pajak menemui salah satu petugas di Dispenda, diketahui bahwa pihak notaris di Pringsewu sudah memasukkan ke sistem di Bapenda dan dilaporkan bahwasannya harga tanah dan bangunan sudah masuk sistem dengan harga tanah dan bangunan 460 juta rupiah dan ini sudah masuk sistem dan tidak bisa di bantu lagi oleh dispenda,” ujar Ryp warga pekon Ambarawa.
Rupanya bukan hanya Ryp sendiri yang mengalami inu, warga lainpun di luar kecamatan Ambarawa, sama sertifikat yang dibuat melalui prona semua tertera terhutang BPHTB.
Saat Sumaterapost.co telusur di kabupaten dan kota lain di Propinsi Lampung, tidak ada tertulis Terhutang BHTBnya, hanya di Kabupaten Pringsewu yang mencantumkan ini.
Kepala Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Pringsewu, Waskito, saat dikonfirmasi dari WhatsApp menyatakan, “Surat keberatan ini masih kita proses dan kemungkinan ada pengurangan nilainya, karena ini ada ketentuannya dan tak ada tanah di Pringsewu harganya dibawah 100, NJOP jangan dipakai untuk patokan kita baru menerapkan 55% paling tinggi.”
Sementara itu, salah satu Notaris di Pringsewu, saat dikonfirmasi melaui assistenya menyatakan, “jangan ditulis nama Notarisnya, Ibu sedang rapat, melalui WhatsApp asistennya, Senin (14/2). Bahwa untuk nilai 460 juta itu bukan kita yang upload, tapi itu dapat penolakan dari BAPENDA nya dengan nilai transaksi yang 460, alasannya karena itu pabrik. Jadi bukan kita yang upload. Kita hanya upload berkas saja, untuk yang memberi nilai 460 juta kami tidak tahu, demikian yang tertulis di WhatsApp asisten Notaris.”
Ditempat terpisah, Jn, salah satu warga Pagelaran pun mengalami nasib yang sama, setelah sertifikat melalui prona diterimanya, baru tahu kalau BPHTB nya terhutang saat akan punjam di salah satu bank di Pringsewu, mau untuk modal usaha di masa pandemi ini harus suruh lunasi BPHTB nya 20 jutaan, sementara pengajuan pinjaman hanya 50 juta rupiah untuk modal, akhirnya saya urungkan niat untuk pinjam. Ujar Jn warga Pagelaran Pringsewu.
Menyikapi hal ini aktivis dari People Watch Corruption, Alqibni mengatakan, “program prona membantu masyarakat meringankan beban membuat sertifikat, namun jika ternyata dibebani BPHTB terhutang, ini ya sangat membebani masyarakat, kecuali BPHTB nta di bayarkan saat terjadi transaksi jual beli. Presiden buat program prona untuk meringankan beban masyarakat, tapi kalau Pemda mencantumkan terhutang BPHTB dan tidak ada sosialisasi yang tuntas sama aja warga masuk jebatan Batman,” ujarnya (Andoyo)




