Sumaterapost.co – Ketua Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Lampung, Advokat dan Konsultan Hukum
‘’Tolong anakku butuh ganja medis”. Itulah curahan hati Santi, seorang Ibu yang anaknya yang menderita cerebral palsy pada aksi damai di area car free day dari Bundaran HI sampai ke Mahkamah Konstitusi dan menarik simpati publik setelah viral lewat unggahan twitter musisi Andien Aisyah (26/06/2022) yang menyebutkan bahwa ‘’Anaknya, Pika, mengidap Cerebral Palsy. Kondisi kelainan otak yang sulit diobati, dan treatment yang paling efektifnya pakai terapi minyak biji ganja/CBD oil’’.
Tak hanya itu, Ibu Santi dan bersama teman-temannya sudah mengajukan permohonan uji materi (judicial review) terhadap UU Narkotika di Mahkamah Konstitusi pada November 2020 dalam perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020. Dan tak terasa penantian Ibu Santi dkk sudah selama hampir 2 tahun tetapi belum ada kejelasan dan kepastian hukum dari MK.
Bahkan, di sidang MK itu sendiri, Guru Besar Farmakologi Universitas Indonesia, Rianto Setiabudi (20/1/2022), yang dihadirkan sebagai ahli dari pihak pemerintah tidak setuju ganja digunakan untuk obat. Rianto mengaku belum sependapat dengan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan manfaat ganja untuk keperluan medis. Masih ada beberapa kelemahan dalam studi-studi tersebut, sehingga belum ada data yang cukup kuat untuk dijadikan dasar penggunaan ganja sebagai obat.
Hingga sampai tulisan ini dibuat, tanaman ganja medis masih belum dilegalkan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan tingkat penyalahgunaan ganja masih tinggi ketimbang manfaatnya. berbeda dengan Thailand yang baru saja melegalkan penggunaan ganja beberapa waktu yang lalu dan menjadikannya sebagai negara pertama yang secara progresif melonggarkan aturan ganja di Asia Tenggara. Meskipun terjadi pelonggaran, tetapi tetap saja ada rambu-rambu tertentu yang membatasinya.
Perlu diketahui bahwa dalam UU No.35/2009 tentang Narkotika jo. Peraturan Menteri Kesehatan No.4 Tahun 2021 ganja termasuk narkotika golongan 1 yang dapat digunakan untuk keperluan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi sampai sekarang masyarakat belum merasakan manfaat dari penggunaan ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.
Kasus Pidana
Seseorang berinisial FAS divonis 8 bulan penjara dan denda Rp. 1 miliar subsider satu bulan oleh majelis Hakim Pengadilan Negeri Sanggau karena terbukti menggunakan 39 batang ganja untuk mengobati sang istri yang menderita penyakit langka “Syringomyelia”. Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sanggau Putusan No.111/Pid.Sus/2017/PN.Sag, perbuatan FAS yang menggunakan ganja untuk pengobatan istrinya dengan cara mengoleskan ekstrak atau minyak ganja ke luka istrinya dan mencampurnya kedalam minuman telah memenuhi unsur menggunakan narkotika golongan 1 terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan 1 untuk digunakan orang lain tanpa hak dan melawan hukum. Sehingga Hakim menilai perbuatan tersebut melanggar Pasal 116 UU Narkotika sekalipun penggunaan ganja tersebut untuk pengobatan penyakit langka yang diderita sang istri.
Hak Pasien.
Dalam Kasus FAS diatas, pada tanggal 3 April 2017 Menteri Kesehatan (Nila Moeloek) menanggapi Kasus FAS. Menteri Kesehatan, pada intinya menyatakan bahwa penggunaan ganja kemungkinan sama halnya dengan penggunaan morfin. Keduanya bukan untuk menyembuhkan melainkan penghilang rasa sakit.
Ada sebuah kutipan yang menarik dalam film Doctor Jhon, yang bunyinya begini: ‘’sejarah manusia adalah sejarah penderitaan. Manusia terlahir dengan rasa sakit dan akhirnya mereka mati dengan kesakitan. Mereka berjuang dengan rasa sakit sepanjang hidup mereka’’. Dalam konteks hak asasi atas kesehatan, sekalipun tingkat kesembuhan pasien rendah atau bahkan tidak bisa disembuhkan seorang pasien tetap berhak atas pro life yakni sebuah prinsip yang sangat melekat pada amanat UUD 1945 dan UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengenai Hak Untuk Hidup dan Hak Untuk Mempertahankan Kehidupan.
Jaminan dan perlindungan terhadap hak untuk hidup dan mempertahankan hidup itulah yang terdapat UU No. 23/1992 jo., dan UU No. 36/2009 tentang Kesehatan yang menggunakan paradigma sakit dan UU No. 44/2009 tentang Praktik Kedokteran yang menggunakan paradigma sehat. Artinya, dalam kondisi apapun pasien berhak medapatkan perawatan terbaik. Jika tidak bisa menyembuhkannya maka paling tidak harus menghentikan rasa sakit. Jika membiarkannya saja, maka pasien akan mengalami penderitaan tanpa henti. Dan ini tentunya tidak sejalan dengan tujuan NKRI sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Ke-4 yang menyatakan negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.
Jalan Tengah
Sangatlah tidak pantas untuk urusan “nyawa” dianggap sebagai suatu pilihan atau Pro Choice, sehingga “mindset” seperti ini perlu dirubah karena tidak sesuai dengan Konstitusi negara kita yang menyatakan urusan ‘’nyawa’’ merupkan bagian dari Pro Life atau hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan yang bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia.
Dan oleh karena itu, salah satu opsi yang bisa digunakan untuk mendapatkan legitimasi penggunaan ganja medis untuk pengobatan bagi seseorang dengan meminta Penetapan Pengadilan lewat pengajuan permohonan atau gugatan voluntair ke Pengadilan Negeri. Gugatan voluntair adalah permohonan yang diajukan kepada Pengadilan yang sifatnya untuk kepentingan sepihak dan tanpa sengketa dengan pihak lain terhadap suatu permasalahan yang memerlukan kepastian hukum untuk melakukan tindakan tertentu.
Hakim berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No.48/2009 wajib memperhatikan dan mengakomodir nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan memperhatikan hal-hal seperti negara tidak dirugikan, tidak mengambil untung dengan tidak bertindak dan tidak terlibat sebagai penyalahguna, pengedar, dan bukan untuk perdagangan narkoba, dan kepentingan pasien itu terlayani akan hak untuk mendapatkan kesehatan, kesembuhan, dan menjamin keberlangsungan hidup pasien.
Itulah dasar sebagai alasan pemaaf dan pembenar yang menghapuskan pidana dalam penggunaan ganja medis untuk kebutuhan kesehatan yang juga terdapat dalam Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Negeri Sanggau No.111/Pid.Sus/2017/PN.Sag yang menyebutkan pentingnya kehadiran ahli dibidang medis yang mendukung mengenai manfaat ganja medis itu sebagai keadaan terpaksa (overmacth) yang menjadi alasan pemaaf ataupun alasan pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukum dalam penggunaan ganja medis untuk media pengobatan.




