Semarang – Teater Lingkar Semarang kolaborasi dengan Disbudpar Kota Semarang yang juga didukung Pepadi kembali menggelar pentas wayang kulit malam Jumat Kliwon yang menjadi ikon dan agenda rutinnya yang sudah berjalan puluhan tahun.
Pargelaran wayang malam Jumat Kliwonan yangke -308 ini juga merupakan bagian pentas budaya dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun (HUT) Kota Semarang yang ke-476.

Pentas yang menghadirkan Dalang kondang Ki Purbo Asmaoro. S.Kar, M.Hum digelar di Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Jalan Sriwijaya , Kota Semarang, Kamis malam , (18/05/2023). Pentas wayang tersebut disiarkan secara live streaming via kanal Youtube Teater Lingkar Official Semarang dan Disbudpar Kota Semarang.
Menariknya, dalam pementasan kali ini ada terobosan baru lakon yang tampilkan dalam pagelaran ini merupakan pilihan penonton secara dadakan. Sebelum pagelaran dalang Ki Purbo Asmoro sebagai pembuka tampil karawitan anak “Punokawan” yang memukau.
.Pagelaran wayang kulit malam Jumat Kliwon ke-308 ini mengusung lakon ‘Pandowo Dadu” yang disepakati penonton dengan cara hompimpa,
Kepala Bidang Budaya Disbudpar Kota Semarang , Arief Tri Laksono mewakili Kadisbudpar Kota Semarang dalam sambutannya mengatakan, pergelaran wayang kerjasama antara Disbudpar dan Teater Lingkar ini merupakan salah satu upaya untuk melestarikan sekaligus nguripi budaya tradisi wayang.
“Perelaran wayang ini sudah berjalan puluhan tahun. Ini merupakan sebuah upaya untuk terus menguri-uri kesenian tradisional wayang sekaligus ikut berperan nguripi para pelaku seninya,” ujar Arief Tri Laksono.
Ditambahkannya dalam pagelarn kali inimenghadir irkan dalang yang juga dosen ISI Ki Purbo Asmoro yang sangat piawai.
“Ki Purbo Asmoo dari Solo malam ini tentunya tampil menghadirkan lakon “Pandawa Dadu” pilihan penonton dengan menarik. Harapannya penonton bisa menikmatinya tak sekadar sebagai tontonan tetapi bisa menjadi tuntunan dan tatanan,” ujar Arief Trilakono sebelum menyerahkan “Gunungan” sebagai penanda dimulainya pergelaran wayang malam Jumat Kliwonan ini.
Sementara itu, Ketua Teater Lingkar Suhartono Padmo Sumarto berharap hadirnya pentas wayang kulit malam Jumat Kliwonan, dapat mengobati menjadikan hiburan sekaligus sarana edukasi serta menguri-uri warisan kesenian tradisi. Sebelum pagelaran wayang ditampilkan karawitan anak-anak “Punokawan” sebagai salah satu langkah upaya pewarisan kesenian tradisi kepada generasi muda.
Pada pentas kali ini, lanjut Maston, Teater Lingkar bersama Ki Purbo Asmoro melakukan terobosan dengan lakon yang dipilih para penonton secara spontan. “Kami menyediakan 99 pilihan cerita ternyata setelah diundi dan disepakati “Pandawa Dadu” adalah lakon pilihan penonton yang harus dpergelarnkan. Ini baru pertama kalinya ada. Ini menunjukkan kepiawaian dari Ki Purbo Asmowo sebagai dalang dan juga tim karawitan pengiringnya,”imbuh Maston panggilan akrab pendiri Tetaer Lingkar ini.
Harapannya, pecinta seni budaya tradisional wayang kulit dapat terhibur selain dapat menyaksikan langsung, pagelaran ini juga disiarkan live streaming melalui kanal dan Youtube Teater Lingkar Official.
Lakon “Pandawa Dadu”
Kisah ini menceritakan tentang permainan dadu antara para Kurawa yang diwakili Patih Sangkuni melawan para Pandawa, sehingga Pandawa harus menjalani hukuman buang selama tiga belas tahun. Kisah ini merupakan cikal-bakal Perang Bratayuda.
Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu.
Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.
Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya. (Christian Saputro)




