Semarang – Komunitas Penulis Satupena Jateng menggandeng Komite Seni Budaya Nasional (KSBN) menggelar acara bedah buku bertajuk : “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama” (Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google) karya Ahmad Gaus AF.
Helat acara dilaksanakan di Sekretariat Satupena Jawa Tengah , di Jalan Taman Karonsih 1/1102, Ngaliiyan, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (01/06/2023). Bedah buku menghadirkan pembicara Ahmad Gaus AF (Penulis Buku) Gunoto Saparie (Ketum Satu pena Jateng), M.Agung Ridlo (Sekum Satupena Jateng).Bedah buku yang dihadiri puluhan orang dari berbagai lintas profesi dan lintas agama itu berlangsung gayeng. Kegiatan dimeriahkan dengan baca puisi oleh Fransiska Ambar Kristiyanti, Tirta Nursari, Edi Prabowo, Bambang Suprapto, YusrieYusuf dan musikalisasi puisi oleh Aan Nawi.

Mengawali perbincangan Ahmad Gaus mengatakan, buku yang ditulisnya ini merupakan dari hasil mengelaborasi pemikiran-pemikiran Denny JA. “Buku ini saya tulis dalam waktu kurang lebih dua bulan. Tentu saja dalam buku ini saya juga membahas buku-buku Denny yang lain yang masih satu garis pemikiran. Saya berharap buku ini didiskusikan di banyak tempat dan forum sehingga akan semakin banyak orang yang mengetahui tren baru di dunia agama dan spiritualitas hasil riset, penjelajahan, dan refleksi Denny JA.,” papar Ahmad Gaus yang mengaku agak bingung, karena membedah buku tetapi tidak ada wujud bukunya karena dipublikasikan dalam bentuk PDF.
Menurut gaus Semakin banyak orang yang membaca dan mengetahuinya semakin bagus. Karena pikiran-pikirannya original, segar, dan penting. Salah satu ciri utama dari pemikiran Denny ialah menyandarkan argumen-argumennya pada riset kuantitatif. “Dengan begitu apa yang dikatakannya terlihat seperti benda yang wujud di depan mata. Apakah anda akan mengambil benda itu atau tidak, itu soal lain,” imbuh Gaus.
Dalam kesempatan ini, lanjut Gaus, hanya akan membicarakan Bab 4 tentang Modrasi Beragama dan Kesetaraan Warga.Pasalnya, sambung Gaus, kalau akan membicarakan semua Bab yang ada dalam buku ini tentu membuthkan waktu yang sangat panjang.
Gaus memaparkan dalam beberapa tahun terakhir ini Kementerian Agama RI sangat aktif mengarusutamakan moderasi beragama. Terus terang banyak orang yang bersikap skeptis memandang sikap resmi pemerintah dalam memandang dan mengkonstuksi hubungan antaragama di tengah masyarakat. Alasannya, sudut pandang pemerintah dalam soal keagamaan biasanya konservatif.
“Kita tahu, dulu pemerintah Orde Baru juga mengembangkan kebijakan mengenai hubungan antar-agama. Waktu itu diberi nama Proyek Kerukunan Hidup Antarumat Beragama. Kemudian dikembangkan lagi menjadi “Trilogi Kerukunan”, yakni kerukunan antar-umat, kerukunan intra-umat, dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah,”jelas Gaus.
Dalam hal ini , lanjut Gaus, pemerintah melihat kerukunan merupakan faktor penting bagi terwujudnya stabilitas dalam menunjang pembangunan. Kerukunan nasional merupakan modal utama bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita pembangunan. Karena tujuannya stabilitas, maka wacana tentang hubungan antaragama dan intraagama dikooptasi oleh negara, dan menjadi bagian integral dari politik pemerintah.
“Bukan hanya itu. Pendekatannya pun elitis, melibatkan hanya tokoh-tokoh agama. Nyaris tidak peduli dengan apa yang terjadi di bawah. Bahkan setiap kali muncul letupan seperti konflik agama atau kekerasan atas nama agama, langsung dibawa ke ranah keamanan karena dianggap subversif, dan mengganggu stabilitas nasional, “ tandas Gaus.
Moderasi Agama sebagai Kebjakan Publik
Tetapi kini, sambung Gaus, moderasi beragama dilakukan dengan sudut pandang multidimensi, melibatkan pendekatan sosiologis, politis, dan sekaligus juga teologis. Sosiologis maksudnya melibatkan civil society. Politis maksudnya menjalankan amanat konstitusi. Dan yang menarik, juga melibatkan pendekatan teologis, misalnya semakin menganggap penting mendiseminasikan ajaran Islam rahmatan lil alamin.
Menurut Gaus terlepas dari berbagai sudut pandang itu, Denny JA mengapresiasi kebijakan pemerintah dalam mengarusutamakan moderasi beragama. Dalam pembukaan diskusi yang dihelat oleh Forum Esoterika dan Spiritualitas, Denny menyebut bahwa langkah pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) sudah tepat menjadikan moderasi beragama sebagai kebijakan publik. Bahkan, program ini dijadikan sebagai satu program unggulan.
Tahun digulirkannya program ini pada 2019, saat Kemenag dipimpin oleh Menteri Lukman Hakim Saefuddin, yang juga menjadi pembicara kunci dalam diskusi Forum Esoterika dan Spiritualitas ini,
adalah tahun yang disebut oleh PBB sebagai Year of Moderation. PBB menerima berbagai masukan dari negara anggotanya tentang pentingnya membuat momentum untuk membangun kesadaran publik bahwa dunia tengah dirundung berbagai praktik kekerasan dan radikalisme agama yang kian meluas.
“Berdasarkan itu Denny berpandangan bahwa pemerintah sudah berada di jalur yang benar menjadikan moderasi agama sebagai kebijakan publik, bahkan diresmikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dengan begitu, moderasi agama saat ini tidak hanya menjadi wacana, melainkan public policy,” tandas Gaus
Dalam memahami pemikiran keagamaan Denny JA, Gunoto Saparie mengatakan, banyak aspek kehidupan yang berubah dengan cepat di era industri 4.0 saat ini, termasuk kehidupan beragama. Lahirnya Artificial Intelligence (AI), big data, chatbot, dan Internet of Things (IoT), menjadi tantangan tersendiri yang harus dijawab oleh bangsa kita.
“Sains dan teknologi dapat dimanfaatkan untuk mendorong sikap terbuka dan moderat dalam beragama. Kalau tidak, agama akan kehilangan relevansinya. Dalam buku ini, Gaus menguraikan pemikiran Denny JA yang menunjukkan bagaimana kompleksitas kehidupan keagamaan berubah di era disrupsi digital,”ujar Ketua Satupena Jateng menyampaikan pandangannya.
Ditambahkannya, aata-data kuantitatif yang dikemukakan oleh Denny terjadi karena ada perubahan preferensi sumber informasi keagamaan yang tidak lagi konvensional, melainkan dari temuan sains, sehingga orang dituntut untuk bersikap terbuka terhadap berbagai sumber informasi. Hal ni sekaligus mendorong orang untuk bersikap moderat dalam beragama.
Sekretaris Satupena Jateng Muhammad Agung Ridlo dalam pamungkas acara menyampaikan simpulan diskusi, semua boleh berpendapat dan boleh berbeda pendapat. Tetapi beda pendapat tak mesti harus berpecah belah, karena perbedaan pendapat adalah rahmat.”Kita memahami perbedaan pendapat dalam koridor persatuan umat. Biar beda pendapat, tetapi tetap bersahabat,”tandas Agung sekaligus menutup gelaran acara bedah buku siang itu. (Christian Saputro)




