Semarang – Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Widi Prasetijono menghadiri pagelaran Wayang Kulit yang mengusung lakon Bimo Krido, yang dibesut dalang Ki Sindhu Gesit Widartho, S.Sn, M.Sn. Sebelum pagelaran wayang dipersembahkan gending yang dimainkan oleh kelompok karawitan Sindhu Laras Bocah.
Pagelaran wayang yang juga dalam rangka memperingati HUT Ke-73 Kodam IV/Diponegoro ini dihelat di Gedung Ki Nartosabdo, Taman Budaya Raden Saleh, Jl. Sriwijaya, Candisari, Kota Semarang. Jumat (6/10/2023). Pagelaran wayang ini merupakan kolaborasi Kodam IV /Diponegoro, Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Semarang, Pepadi dan Teater Lingkar Semarang.

Hadir pada pagelaran wayang kulit tersebut Kasdam IV/Dipongeoro Brigjen TNI Ujang Darwis, M.D.A., Irdam Brigjen TNI Yudi Pranoto, S.H., M.M., Kapok Sahli Pangdam Brigjen TNI Budi Kusworo, Asrendam, para Asisten, Kabalakdam serta Forkopimda Provinsi Jateng, Forkopimda Kota Semarang, komunitas pecinta Wayang, para prajurit beserta keluarga dan masyarakat Kota Semarang.
Menariknya pagelaran wayang kulit dalam rangka HUT Ke-78 TNI ini digelar di 78 titik di wilayah Indonesia dan luar negeri yakni di Amerika serikat, Suriname dan Malaysia. Pertunjukan wayang serentak terbanyak ini sekaligus pemecahan rekor MURI.
Panglima TNI Laksamana TNI H. Yudo Margono, S.E., M.M., C.S.F.A. dalam sambutannya secara virtual dalam gelaran acara itu menyampaikan bahwa lakon Bimo Krido menjadi pilihan karena tokoh Bimo sebagai penegak Pandawa berhasil membangun keamanan keselamatan negaranya.
“Hal ini bisa menjadi suri teladan bagaimana dalam bermasyarakat dan bernegara. Wayang bukan hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan dan tatanan,” tandas Panglima.
Pertunjukan wayang ini selain dalam rangka memeriahkan HUT TNI Ke -78 sebagai upaya melestarikan budaya asli Indonesia, menghibur dan mendekat TNI dengan masyarakat Indonesia..
Sementara itu, Kapendam IV/Dipongero Kolonel Inf Richard Harison, S.I.P. dalam keterangannya mengatakan, untuk di wilayah Jawa Tengan pertunjukan digelar 17 titik. Pagelaran wayang kulit yang merupakan salah satu seni budaya asli Indonesia yang telah mendunia dan secara resmi sudah diakui oleh UNESCO.
“Dengan pagelaran wayang ini juga diharapkan agar masyarakat lebih guyub dan kompak. Kita mengharapkan masyarakat lebih mencintai budaya Indonesia serta bisa lebih kompak dan guyub, seperti yang dicontohkan bagaimana tokoh Bima membangun negaranya. Dari pertunjukan ini bisa diambil nilai-nilai filosofisnya dan moralitasnya kemudian diterapkan dalam kehidupan keseharian, ” ujarnya di sela-sela menikmati pertunjukan.
Lakon Bima Krida mengisahkan tentang penokohan salah satu Pandawa Lima yakni Bima atau yang juga dikenal dengan Werkudara. Dia mengamuk di negeri Astinapura.
Dalam lakon ini, Bima tidak sendirian, tetapi mengamuk bersama saudaranya yang telah berubah menjadi raksasa. Dia adalah Kresna.
Pemicu mengamuknya dua tokoh Pandawa ini lantaran mereka tidak mau menerima apa yang menjadi perintah Batara Guru. Sang Batara Guru meminta agar Pandawa Lima mau menerima perdamaian dengan Kurawa.
Bima dan Kresna beranggapan bila perdamaian itu justru akan menjadi penggalang dan mengurangi perjuangan untuk kedaualan para Pandaawa Lima.
Karenanya secara tegas mereka menolak perdamaian dengan Kurawa untuk perebutan Negri Astina Pura. Penolakan itu membuat dua kesatria ini mengamuk, bahkan Kresna berubah menjadi raksasa.
Sayangnya Bima dan Kresna tak mampu melawan Batara Guru yang sebenarnya adalah seorang jelmaan Betari Durga.Karena kewalahan, Bima dan Kresna akhirnya meminta bantuan Semar yang sudah menjelma menjadi seorang Begawan Dewa Kasimpar.
Konflik atau peperangan besar inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Perang Baratayudha. Pesan moralnya antara lain bahwa kemeredekaan dan kedaulatan itu bukan hasil perdamaian melainkan hasil dari perjuangan. (Christian Saputro)




