Penulis: Hery, SE. M.Pd (Guru di SMPN 3 Kopang Loteng NTB)
Lombok Tengah, NTB – (Sumaterapost.co) |
Kemajuan merupakan suatu keniscayaan yang ingin dicapai oleh semua bangsa, tak terkecuali Indonesia. Bangsa Indonesia telah melewati berbagai dinamika arus perubahan sejak era reformasi digaungkan, termasuk dimensi pendidikan dengan kompleksitas dialektikanya.
Dunia pendidikan Indonesia pasca reformasi seolah seperti petani yang berganti pola tanam, dimana lahan garapannya tidak berubah, namun hasil yang diharapkan secara holistik lebih baik dan meningkat, tanpa berani berinvestasi lebih untuk membackup ekspekstasi tersebut.
Perubahan memang kerap terjadi seiring dengan dinamika konstalasi politik, baik di tingkat nasional dengan regulasi kurikulumnya, maupun di tingkat daerah dengan ketimpangan dan perbedaan potensi masing-masing. Termasuk di dalamnya kebijakan otonomi daerah ya” – membuka ruang intervensi politis para pejabat daerah.
Hal ini berpengaruh terhadap ritme dan tempo perubahan yang mengarah pada kualitas penyelenggaraan pendidikan yang kian stagnan.
Dua belas kali terjadi perubahan struktur kurikulum sejak tahun 1947 namun tak membawa dampak perubahan yang signifikan. Salah satu wujud nyata kelemahan sistem pendidikan kita yaitu masih rendahnya tingkat melek literasi masyarakat.
Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap interpretasi informasi-informasi yang berbau hoax di media sosial yang berkontribusi men 3/5 – belah masyarakat. Hal ini juga menjadikan oknum produsen hoax (buzzer), tumbuh dan berkembang subur di negeri kita. Kondisi tersebut digandrungi pula oleh pemerintah guna melindungi kepentingan politik dan kelanggengan kekuasaan mereka.
Pendidikan merupakan instrumen penting bagi negara yang memandangnya sebagai sebuah investasi. Dengan demikian segala aspek yang bersinggungan dengannya akan menjadi prioritas utama dalam penanganannya, termasuk kebijakan kebijakan yang menjadi pijakan dalam implementasinya di lapangan. Sebagai contoh negara Finlandia, negara ini dalam kurun 10 tahun terakhir mejadi perhatian global karena keberhasilannya merubah dan mentransformasikan konsep dan aplikasi pendidikannya.
Ada dua hal yang menarik yang penulis kutip dari laman New Nordic School tentang alasan Finlandia menjadi negara pendidikan terbaik, yaitu teknologi yang disupport penuh oleh pemerintah dan guru yang otonom. Kedua aspek tersebut merupakan lokomotif sekaligus support system dalam penyelenggaraan pendidikan di era generasi berkarakter digital native yang lahir, tumbuh dan berkembang di era digital.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? apakah pemerintahnya mampu mengejar ketertinggalan pendidikannya?. Kita lihat saja apa yang akan terjadi di tahun 2024 setelah presiden berganti. Apakah masih mempertahankan status guo ataukah sebaliknya akan terjadi loncatan besar dalam dunia pendidikan kita.




