Semarang– Kolektif Hysteria dalam gelaran diskusi event ‘Iki Buntu: Fest I’ di Kp. Petemesan, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang pada hari Minggu (15/7/2024 lalu menghadirkan Sejarawan Rukardi Achmadi.
Sejarawan cum jurnalis Rukardi Achmadi membabarkan sejarah singkat terkait Kampung Petemesan dalam ‘Iki Buntu: Fest I’ . Dalam forum diskusi ini Rukardi menjadi salah satu narasumber, bersama dengan dosen dari Faklutas Ilmu Politik dan Sosial (Fisip), Lintang Ratri Rahmiaji..
Diskusi yang dimoderatori Najmi Azkiyah Afiyah, membicarakan terkait asal usul Kampung Petemesan dengan tajuk ‘Jalan Buntu’, sesuai dengan nama festival yang diangkat.
Disigi berdasarkan peta sejarah tertua mengenai Kota Semarang pada tahun 1692 yang diintepretasikan oleh tokoh Islam Tionghoa Indonesia, Amen Budiman. 
“Kabupaten pertama itu di sebelah pasar, berarti di sini dong. Jadi ini intepretasi menarik dari Pak Amen Budiman bahwa dulu daerah Bubakan ya, Bubakan itu dulu ya sekitar sini-sini. Bukan Bubakan itu berarti di bunderan itu enggak,” jelas Rukardi.
Bukan Kaleng-kaleng
Rukardi menambahkan Amen mengintepretasikan daerah Bubakan di era Ki Ageng Pandanaran itu ya di (sekitar) sini. Dia dulu memberi tanda sekolah teknik, ST V (yang sudah dibubarkan). Nah di situ dulu ada semacam petilasan Ki Ageng Pandanaran di situ,”
Oleh karenanya, Rukardi menegaskan bahwa Kp. Petemesan bukanlah wilayah sembarangan. Sebab, menjadi bagian penting penting dalam hubungannya dengan kesejarahan Kota Semarang.”Ini itu (Kp. Petemesan) dulu bekas kabupaten. Kira-kira seperti itu. Berarti bukan daerah kaleng-kaleng ini,” tegas Rukardi.
Terkait dengan keunikan letak geografis Kp. Petemesan yang terkenal dengan ‘gang buntu’-nya, Rukardi menyebut bahwa peta persebaran penduduk di area tersebut memiliki korelasi dengan pemberontakan warga Tionghoa pada tahun 1740 di Batavia oleh VOC.
Hal tersebut juga terjadi di beberapa kota di Jawa Tengah, salah satunya adalah Semarang. Bahkan pemberontakan dilakukan bersama-sama dengan orang Jawa, untuk melawan VOC pada masa lampau.
“Kemudian karena gerakan itu, orang-orang Tionghoa dianggap pemberontak, sehingga ‘diamankan’ dalam satu wilayah namanya Pecinan. Supaya tidak berbaur dengan orang Jawa,” jelasnya.
Pada tahun 1797, VOC memperlebar jalan antara Kota Lama dan jalan di Pecinan (Pekojan). Makam-makam orang Tionghoa terpaksa dipindah untuk melakukan pelebaran jalan tersebut.
Bukti pemindahan makam dikatakan Rukardi terlihat dari adanya inskripsi yang dibangun di ujung Jalan Petolongan, dengan tulisan dari mantra Budha untuk mendoakan arwah-arwah yang makamnya dipindah.
“Jadi itu bukti bahwa pada tahun 1797 ini terjadi pemindahan makam. Dipindah di Bong Bunder, Mugas, di belakang SMA 1,” ujar Rukardi.
Pelebaran jalan tersebut menyebabkan adanya pergeseran wilayah yang membuat warga Tionghoa bisa tinggal di sekitar Pekojan dan mulai berdagang di sana. Hingga dewasa ini, banyak orang-orang peranakan Tionghoa yang tinggal dan memiliki toko di sekitar Pekojan.
Jejak sejarah itu diharapkannya menjadi salah satu catatan penting yang dimiliki oleh warga setempat. Senada dengan Rukardi, Najmi selaku mahasiswi jurusan Arsitektur Undip tahun angkata 2021, mengatakan bahwa ia cukup terkesan dengan fakta yang ada.
Terlebih dirinya yang berasal dari Kota Cimahi, Jawa Barat, belum terlalu tahu perihal tata letak hingga sejarah daerah-daerah di Kota Semarang. Termasuk Kp. Petemesan yang berada persis di tengah kota.
“Baru tahu dan cukup menarik. Selain lokasinya yang unik karena terkenal dengan ‘gang buntu’, Kp. Petemesan ternyata menyimpan cerita dan sejarah panjang, termasuk hubungannya dengan kehidupan orang Tionghoa di sini,” kata Najmi.
Ia menyebut bahwa pengetahuan tentang kota seperti yang dipaparkan oleh narasumber diskusi, menjadi konten penting dalam agenda festival pertama yang diinisiasi oleh Kolektif Hysteria melalui Platform PekaKota kali ini.
“Soalnya kurang banyak juga literasi atau catatan yang bisa ditemukan mengenai Kp. Petemesan. Jadi selain mengedukasi warga setempat, juga memberikan pengetahuan baru bagi orang yang berasal dari luar daerah,” ujar Najmi lagi.
Kp. Petemesan sendiri dikatakannya menjadi lokasi keempat dari 10 titik dalam Program Purwarupa, setelah sebelumnya diselenggarakan di tiga lokasi lain. Yakni Rembang, Tandhok Art Space dan Wonolopo.
Sementara itu, 6 titik lain akan digelar di kampung atau lokasi lain di Kota Semarang. Di antaranya adalah Kampung Jawi, Tambakrejo, Bustaman, Ngijo dsb.
Agenda tersebut masuk dalam rangkaian menuju ulang tahun ke-20 Kolektif Hysteria dan Event Strategis Kementerian Pendididak, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI, melalui Program Dana Indonesiana.
(Christian Saputro)




