Alih-alih diproses hingga pengadilan, kasus pemalsuan surat tanah miliaran rupiah yang menjerat Hasan justru diarahkan ke SP3. Publik mempertanyakan integritas penegak hukum.
Sumaterapost.co | Bintan – (Kolom Opini) Gelombang kritik publik terus bergulir terhadap upaya penghentian perkara (SP3) dalam kasus dugaan pemalsuan surat tanah yang menjerat Hasan, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Provinsi Kepulauan Riau.
Hasan, bersama dua rekannya, Muhammad Ridwan dan Budiman, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Bintan pada April 2024. Mereka diduga menerbitkan 19 surat keterangan penguasaan tanah (SKPT) palsu di Kelurahan Sei Lekop, Kecamatan Bintan Timur.
Berdasarkan dokumen penyidikan dan informasi dari pihak kejaksaan, dua dari SKPT palsu tersebut atas nama Hasan sendiri, yang kemudian digunakan dalam transaksi lahan seluas 3,7 hektare dengan nilai mencapai miliaran rupiah.
Dari transaksi itu, Hasan diduga meraup keuntungan pribadi sebesar Rp115 juta. Ridwan dan Budiman masing-masing memperoleh Rp55 juta dan Rp28 juta.
Namun, proses hukum kasus ini terancam berhenti di tengah jalan. Saat ini, berkembang wacana penerapan restorative justice menyusul surat perdamaian antara Hasan dan pelapor, PT Expasindo Raya. Wacana ini menuai protes keras dari kalangan masyarakat sipil dan pengawas kebijakan.
*Restorative Justice Dinilai Menyimpang*
Adiya Prama Rivaldi, Ketua Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, menilai bahwa penerapan restorative justice dalam kasus ini adalah bentuk penyimpangan hukum yang terang-terangan.
“Restorative justice hanya berlaku untuk tindak pidana ringan, ancaman hukumannya maksimal lima tahun dan kerugiannya di bawah Rp2,5 juta. Kasus Hasan diancam dengan delapan tahun penjara dan kerugian negara dalam skala miliaran. Ini jelas tidak memenuhi syarat,” tulis Adiya ke Redaksi Media ini, Kamis Malam (8/5/2025).
Ia menambahkan, pemalsuan dokumen negara adalah delik umum, bukan delik aduan. Artinya, meskipun pelapor dan pelaku berdamai, perkara tetap wajib dilanjutkan.
“Ini bukan soal dendam pribadi. Ini kejahatan terhadap hukum dan sistem negara,” tambahnya.
Jejak Lama Kasus: Berkas Sempat Lengkap
Kasus Hasan bukan barang baru. Penyelidikan telah berlangsung sejak 2022, dan gelar perkara telah dilakukan oleh kepolisian.
Bahkan, menurut informasi dari kejaksaan, berkas sempat dinyatakan lengkap dengan petunjuk tambahan.
Namun prosesnya stagnan, dan kini muncul narasi pengamanan kasus dengan SP3.
“Kalau kasus ini dihentikan, bagaimana nasib kepercayaan masyarakat terhadap hukum? Rakyat kecil yang mencuri ayam langsung diborgol, tapi pejabat yang meraup ratusan juta malah dilindungi?” kritik Adiya.
*Desakan Penonaktifan dan Intervensi Pusat*
Selain mendesak agar kasus ini dituntaskan hingga ke pengadilan, Jaringan Pengawas juga meminta agar Hasan dinonaktifkan dari jabatannya oleh Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad.
“Tidak cukup hanya diam. Gubernur harus menunjukkan komitmen bersih-bersih birokrasi. Hasan harus dicopot demi menjaga wibawa pemerintahan,” kata Adiya.
Mereka juga mendesak Kapolri dan Kabareskrim agar mengambil alih dan mengawasi langsung proses hukum ini.
Begitu pula dengan Kejaksaan Agung, diminta menolak segala bentuk restorative justice yang tidak memenuhi syarat.
*Jika Hasan Lolos, Preseden Buruk Menanti*
Penghentian kasus Hasan melalui SP3 atau rekayasa hukum lainnya diyakini akan menciptakan preseden buruk di Kepulauan Riau dan secara nasional.
Masyarakat khawatir hal ini akan menormalkan impunitas bagi pejabat yang menyalahgunakan jabatan.
“Jika Hasan lolos, maka hukum telah mati. Ini bukan hanya soal Hasan, ini tentang masa depan keadilan dan tata kelola negara. Kita tidak boleh membiarkan hukum dinegosiasikan oleh mereka yang punya kuasa,” tutup Adiya.(Red)