Dr. Hasbullah, M.Pd.I
Dosen Universitas Muhammadiyah Pringsewu
Sumaterapost.co.Lampung dikenal sebagai lumbung singkong nasional, menyumbang sekitar 30% produksi singkong Indonesia (BPS, 2023). Setiap tahun, provinsi Lampung menghasilkan 8-10 juta ton singkong, yang sebagian besar diolah menjadi tepung tapioka, bioetanol, dan pakan ternak, serta diekspor ke berbagai negara (Kementan, 2023). Namun, di balik angka-angka impresif ini, petani singkong justru hidup dalam ketidakpastian akibat fluktuasi harga yang ekstrem.
Fenomena fluktuasi harga singkong yang ekstrem telah menjadi lingkaran setan kemiskinan bagi petani, terutama saat panen raya tiba dan harga anjlok ke titik nadir yang menjadikan petani menangis dan menjerit secara ekonomi. Banyak singkong akhirnya dikirim ke Jawa, dan biaya logistik yang tinggi semakin menggerus margin keuntungan petani. Lebih parah, struktur pasar yang oligopsoni di mana hanya segelintir pabrik menentukan harga-membuat petani tidak punya pilihan selain menjual murah atau membiarkan panen membusuk.
Krisis harga singkong di Lampung bukan sekadar cerita statistik, melainkan realitas getir yang dirasakan petani di lapangan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung mencatat, perjalanan harga singkong di tingkat petani bisa dengan cepat berubah drastis dalam hitungan bulan bahkan hari. Harga singkong di Lampung sering kali jatuh di bawah biaya produksi, terutama saat panen raya. Pada awal 2022, harga sempat mencapai Rp 3.000/kg, tetapi pertengahan 2023 anjlok menjadi Rp 800-1.200/kg (BPS Lampung, 2023). Padahal, biaya produksi singkong berkisar Rp 1.200-1.500/kg (Litbang Kementan, 2023). Kondisi ini memaksa petani menjual dengan rugi atau membiarkan hasil panen membusuk.
Mengapa Harga Singkong Tidak Stabil? Fluktuasi harga singkong di Lampung dipicu oleh beberapa faktor mendasar. Pertama, Panen Serentak & Minim Diversifikasi. FAO, 2022, mengatakan bahwa mayoritas petani di Lampung masih mengandalkan pola tanam tradisional, di mana penanaman dan panen dilakukan serentak. Akibatnya, pasokan melimpah saat panen raya, sementara permintaan industri tidak mampu menyerap seluruh hasil, sehingga harga jatuh. Hal ini karena tidak adanya pola tanam bergilir atau diversifikasi komoditas memperparah situasi. Kedua, Lemahnya Industri Hilir. Sebanyak 70% singkong Lampung diekspor dalam bentuk chips atau tepung mentah. Padahal, jika diolah menjadi bioetanol, mocaf, atau produk pangan bernilai tambah, margin keuntungan bisa meningkat 3-5 kali lipat (Kemenperin, 2023). Jika ini terjadi maka keutungan petani akan jauh lebih baik.
Ketiga. Tidak Ada Harga Dasar. Berbeda dengan beras yang dilindungi Harga Pembelian Pemerintah (HPP), singkong tidak memiliki harga minimum yang dijamin negara. Petani sepenuhnya bergantung pada mekanisme pasar yang sering tidak adil. Keempat, Informasi Pasar Tidak Simetris. Minimnya akses petani terhadap informasi harga, permintaan industri, dan kebijakan pemerintah membuat mereka menanam berdasarkan kebiasaan, bukan data pasar.
Ketidakstabilan harga singkong di Lampung telah menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang signifikan, terutama bagi petani yang menjadi tulang punggung produksi singkong nasional. Harga yang sering kali jatuh di bawah biaya produksi membuat banyak petani terpaksa beralih ke komoditas lain atau bahkan menjual lahan mereka untuk menutupi kerugian. Kondisi ini diperparah oleh praktik perusahaan tapioka yang menetapkan harga secara sepihak dan potongan rafaksi yang tinggi, sehingga pendapatan petani semakin tergerus.
Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan petani sejak Januari 2025 menuntut harga singkong yang layak, namun ketidakpatuhan perusahaan terhadap kesepakatan harga memicu konflik dan bahkan penutupan puluhan pabrik tapioka, yang semakin memperburuk kondisi pasar dan ekonomi petani (Kompas, 2025). Dampak ketidakstabilan harga singkong tidak hanya dirasakan oleh petani, tetapi juga mengganggu perekonomian daerah Lampung secara keseluruhan. Penutupan pabrik tapioka akibat tekanan harga membuat rantai pasokan terganggu dan menurunkan daya saing industri lokal (Kadin Lampung, 2025), sehingga Indonesia masih harus mengimpor tepung singkong dari Thailand dan Vietnam.
Pemerintah daerah, melalui Gubernur Lampung, telah mengeluarkan instruksi No 2 tahun 2025 tentang penetapan harga minimal Rp1.350 per kilogram dengan potongan rafaksi maksimal 30% untuk menstabilkan pasar. Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi tantangan dari persaingan dengan produk impor dan sikap perusahaan yang belum sepenuhnya patuh. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan sinergi antara pemerintah, petani, dan pelaku industri serta upaya menekan biaya produksi, seperti swasembada pupuk, agar kesejahteraan petani dan stabilitas ekonomi daerah dapat terjaga
Ditingkat nasional, pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang harga dasar singkong, dengan harapan ada standar nasional yang adil terkait kadar pati dan rafaksi. Selain itu, usulan larangan terbatas impor singkong juga mengemuka untuk melindungi harga domestik dari praktik impor murah yang merugikan petani lokal. Namun, hal ini juga masih ada kemungkinan tidak mampu membendung gejolak tentang harga singkong. Karena tidak bisa dipungkiri juga akan ada perang kepentingan di pemerintah dan pegusaha pabrik singkong.
Untuk mengakhiri gejolak harga singkong dan meningkatkan kesejahteraan petani, sehingga penting untuk membangun ekosistem berkeadilan di lampung. Ada beberapa langkah strategis perlu segera diambil. Satu, Bangun Industri Hilir di Lampung. Pemerintah harus mendorong investasi industri pengolahan bernilai tambah tinggi seperti bioetanol, mocaf, dan makanan olahan. Insentif fiskal, kemudahan perizinan, dan pembiayaan khusus dapat menarik investor. Dua, Terapkan Kebijakan Harga Dasar. Harga acuan singkong harus diatur dengan tegas dan diawasi implementasinya. BUMD dapat berperan sebagai penyangga harga saat pasar jatuh, bekerja sama dengan pabrik untuk menyerap hasil panen petani.
Tiga, Perkuat Sistem Informasi Pasar. Platform digital yang terintegrasi dengan data BPS dan Kementan perlu dibangun untuk memberikan update harga, prediksi panen, dan kebutuhan industri kepada petani. Empat, Diversifikasi Produk & Pasar Ekspor. Pelatihan pengolahan singkong bernilai tambah dan fasilitasi sertifikasi ekspor akan membuka pasar global bagi produk Lampung. Lima, Kembangkan Koperasi Petani. Koperasi dapat mengelola buffer stock dan pengolahan bersama, memperkuat posisi tawar petani di hadapan industri.
Harus juga di catat, bahwa gejolak harga singkong di Lampung bukan sekadar soal untung-rugi petani, melainkan ujian bagi masa depan pertanian nasional. Jika pemerintah serius membangun industri berbasis singkong, komoditas ini bisa menjadi penggerak ekonomi baru, seperti di Thailand dan Brazil. Namun, tanpa langkah konkret-industri hilir yang kuat, harga dasar yang adil, dan petani yang berdaya, Lampung akan terus menjadi penonton di lumbung singkongnya sendiri, sementara petani tetap menjerit di tengah melimpahnya hasil bumi. Kini, bola ada di tangan para pemangku kebijakan, akankah mereka benar-benar berpihak pada petani, atau membiarkan gejolak ini terus berulang?




