Semarang – Boen Hian Tong (Perkumpulan Rasa Dharma) Semarang kembali menghelat acara Mengenang Tragedi Mei ’98. Gelaran acara bertajuk : “Abaikan Nama Baik, Lawan, Laporkan” menghadirkan pembicara pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Tangerang Ir.Azmi Abuabakar.
Perhelatan Mengenang Tragedi Mei /98 ini digelar dimarkas Boen Hian Tong, di Gedung Rasa Dharma, Jalan Gang Pinggir 31, Kranggan, Semarang, Sabtu 17 Mei 2025.
Kegiatan dimulai dengan sembahyangan yang dipimpin Wense Andi Gunawan dan ritual Rujak Pare Sambel Kecombrang. Dilanjutkan dengan ramah-tamah dan makan bersama nasi ulam bunga telang dan soto diiringi hiburan musik Lam Kwan . Kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi yang dipandu Fenti menghadirkan narasumber Ir.Azmi Abubakar seorang aktivis asal Gayo, Aceh.
Venti dalam pengantar diskusi mengatakan, diskusi ini bukan sekedar mengenang peristiwa kelam dalam sejarah bangsa, tetapi juga merefleksikan makna keneragaman, persaudaraan dan kemanusian.
Tragedi Mei 1998 bukan hanya tentang kerusuhan sosial dan runtuhnya rezim, tetapi juga tentang luka mendalam yang dirasakan oleh banya saudara-saudara kita terutaa dari etnis Tinghoa Indonesia.
Diskusi ini , lanjut Venti, ruang bagi kita semua untuk tidak melupakan dan agar tidak mengulang. Dan hari ini kita sangat beruntung bisa mendengarkan langsung kisah, refleksi dan pengetahuan dari sorang tokoh yang memiliki dedikasi tinggi dalam merawat ingatan sejarah dan kebudayaan.
Fenti menambahkan Ir. Azmi Abubakar bukan hanya pejuang budaya, tetapi juga penjaga nilai-nilai pluralism dan kemanusian. Mengenali sejarh bukan untuk membuka luka tetapi untuk menyembuhkannya dengan pengakuan, pengertian dan aksi nyata,
Menurut Founder Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Azmi Abubakar tragedi Mei1998 menjadi titik balik. Sebelum itu banyak etnis Tionghoa merasa harus “menyembunyika” indentitas budayanya demi keamanan. Namun justru setelah tragedi ini muncul kesadaran bahwa menyuarakan indentitas bukan sesuatu yang salah.
“Museum yang saya dirikan pada tahun 2012 pun lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap lupa sebagai pengingat bahwa keberagaman adalah kekuatan bukan ancaman. Untuk menghindari berbagai anggapan yang tak nyaman saya tak pernah menerima sumbangan atau donasi dari pihak mana pun. Mseum ini saya biayai dari kocek sendiri, ” ujar penyandang nama Tionghoa Liem Sie Ming ini.
Kode panggilan karib Azmi menadaskan pelajaran terbesarnya adalah pentingnya keadilan sosial dan perlindungan terhadap minoritas. Ketika negara lalai melindungi warganya, siapa pun latar belakangnya. Maka kita memberi ruang bagi intoleransi dan kekerasan.
“Kita perlu terus memperkuat pendidikan kebhinekaan da memperjuangkan keadilan untuk semua,” tegasnya.
Putra Aceh kelahiran Jakarta 3 Maret 1972 ini mengisahkan tantangannya ketika mendiikan ddan mengelola Museum Pustaka Peranakan Tionghoa resistensi baik dari luar maupun dari dalam komunitas sendiri bahkan dari keluarga.
“Ada yang merasa sejarah kelam sebaiknya tak diangkat. Tapi saya percaya justru unuk membuka ruang dialog, kota menyembuhkan luka kolektif. Museum ini bukan tempat menyalahkan tapi ruang belajar dan penyadaran,” imbuhnya.
Azmi menambahkan kaum muda sangat potensial untuk merawat ingatan kolektif seperti Tragedi Mei 98.Generasi muda punya kekuatan luar biasa lewat media sosial, seni, dan gerakan komunitas.
“Mereka bisa mengubah narasi, menyuarakan keadilan dan mengajak masyarakat tidak lupa. Yang penting adalah keberanian untuk bertanya, mendengan dan beraksi dengan empati,” imbuhnya.
Azmi berharap sangat sederhana namun mendalam. ke depan Indonesia dalam konteks keberagaman Semoga Indonesia menjadi rumah yang benar-benar aman bagi semua warganya, tanpa melihat etnis, agama dan latar belakang.
“Keberagaman bukan sekadar slogan tapi dijalani dalam kebijakan dalam pendidikan dan dalam sikap keseharian kita,” tegasnya.
Puncak kejayaan nusantara (Indonesia) pernah terjadi. Puncak kejayaan itu ketika persaudaraan kita begitu erat. Tidak ada ini aku kau. Azmi mecontohkan ketika kerajaan Malaka digempur Portugis. Pasukan dari Ternate dan Tidore pun ikut bahu membahu membela Malaka. Seperti kata penyair, ujar Azmi, yang tertusuk di dadamu yang berdarah di daku.”Demi persaudaraan nyawapun dipertatuhkan. Saya kira Indonesia tidak akan lama lagi akan mencapai puncak kejayaannya kembali,” pungkasnya mengunci perbincangan. (Christian Saputro)