Kediri- TBM Gelaran Jambu, Kediri menjadi kolaborator dan tuan rumah Program Tur Lawatan Jalan Terus “Bandeng Keliling” yang diinisasi oleh Kolektif Hysteria dari Kota Semarang.
Seperti pada titik sebelumnya, Kolektif Hysteria memutar Film Dokumenter “Legiun Tulang Lunak: 20 Centimeters per Year”, di temapt TBM Gelaran Jambu, Jl. Masjid 429, Jambu, Kayen Kidul, Kabupaten Kediri, Minggu .
Sesi diskusi dibuka usai pemutaran film dokumenter dari Kolektif Hysteria, dengan formasi dua narasumber. Yakni Yuswinardi dan Ahmad Ikhwan Susilo, serta dimoderatori oleh Anwaril Jalali.
Dalam diskusi tersebut, terungkap bahwa secara garis besar, cerita kesejarahan terkait kebudayaan di Kota Kediri hampir sama dengan Kota Semarang.
Hal itu dinilai mempengaruhi ekosistem kesenian dan kebudayaan di Kota Kediri, seperti yang dialami oleh beberapa komunitas seni dan budaya di sana.
“Makanya di Pare itu siklusnya cepet banget Pak, dua tahunn, tiga tahun itu bubar lagi,” kata Ahmad Ikhwan Susilo.
“Bahkan sekelas kebudayaan itu juga perlahan berubah. Apalagi yang paling kenceng adalah siklus berkomunitasnya. Setahun itu udah berganti,” jelas dia.
Mendengar hal tersebut, Yuswinardi tak mengelak. Bahkan ia mengakui, ekosistem di Kota Semarang memiliki dinamika yang serupa.
“Ya, sama. Apalagi Semarang itu kan Kota Industri dan Jasa. Udah punya julukan dan kayak kutukan,’kuburan seni’. Jadi apapun yang terkait seni, pasti ya bubar,” kata Yuswinardi, selaku pendiri Kolektif Hysteria.
“Paling mentok ya lima tahun, bubar. Meskipun ada juga yang menentang julukan itu. Tapi lebih cenderung para pelakunya vakum atau akhirnya memilih yang realistis aja. Lebih baik kerja, daripada ngurusin kesenian,” lanjutnya.
Yuswinardi lantas menjelaskan asal mula kolektif yang ia dirikan sejak 20 tahun lalu tersebut, akhirnya mempunyai cara bertahan tersendiri di dalam ekosistem yang tidak terlalu mendukung pada dunia seni budaya.
“Sama aja dengan akhirnya kami (Hysteria) pindah haluan. Dari yang tadinya sastra, ke medan seni yang lain,” aku Yuswinardi.
Berdasarkan pengamatannya, medan seni lain selain sastra dianggap lebih menarik. Buktinya, ketika hal tersebut dipilih oleh Hysteria, ada banyak jalan alternatif yang mampu mendukung kebertahanan komunitas.
Tak hanya itu, Yus juga mencontohkan beberapa kasus yang ditempuh oleh komunitas lain. Salah satunya Jogja Binnalle.
“Dia memberikan kesempatan untuk seniman, komunitas seni dan kepenulisan untuk residensi, dan dibayar,” kata Yus.
Ia menambahkan kesempatan untuk berkarier di bidang seni sebenarnya terbuka lebar, asalkan seniman atau komunitas rajin mencari informasi dan mau saling berjejaring.
Sebab, kesempatan-kesempatan mendapatkan pendanaan di luar komunitas, justru mampu menunjang kegiatan kelompok, alih-alih hanya mengembangkan potensi saja.
Saran dan cerita tersebut dikatakan Yus, selaras dengan manifesto yang dibawa oleh Kolektif Hysteria dalam Tur “Bandeng Keliling” 2025. Yakni Tulang Lunak Bandeng Juwana.
Di mana program tersebut masuk dalam Event Strategis, Kementerian Kebudayaan RI 2025, melalui dukungan Dana Indonesiana.(Christian Saputro/ril)




