Semarang – Area parkir B6 Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (UNNES) berubah menjadi ruang seni pameran terbuka pada Sabtu (21/06/2025) dan Minggu (22/06/2025), dalam kegiatan bertajuk Ditampart: Meruang. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Purwarupa hasil kolaborasi antara Peka Kota, Kolektif Hysteria Ditampart, dan Guyub Rupa yaitu sekumpulan mahasiswa Seni Rupa UNNES, yang menawarkan pendekatan baru dalam pemanfaatan ruang publik kampus.
Pameran seni visual terbuka menjadi pembuka acara, memanfaatkan parkiran sebagai media ekspresi kolektif. Karya-karya lukisan mahasiswa, arsip Hysteria, hingga pop market dengan tenant seperti Sketch Booth, kudapan lokal, dan layanan konsultasi mahasiswa Arsitektur menghidupkan suasana. Kegiatan ini tidak hanya menghadirkan karya, tetapi juga menjadi ruang pertemuan dan diskusi langsung antara peserta dan pengunjung.
Diskusi bertajuk diseminasi gagasan digelar di hari yang sama, menghadirkan Dyas Afyantoro (UPGRIS) dan Imammul Muqorobin, selaku peserta program Peka Kota 2025. Keduanya membedah isu ruang publik dan aksesibilitasnya. “Apakah ruang publik itu benar-benar untuk publik?” tanya Dyas dalam pembukanya. Ia menyoroti keterbatasan masyarakat, terutama mahasiswa, dalam mengakses ruang-ruang bersama yang seharusnya inklusif.
Diskusi tersebut menyoroti bahwa inisiatif seperti Ditampart: Meruang muncul dari keresahan terhadap minimnya ruang interaksi bebas di tengah kota. Inisiatif ini mendorong penciptaan ruang-ruang alternatif di luar batas formal birokrasi kampus atau kota.
Imam memaparkan bahwa event Ditampart: Meruang merupakan bagian dari pengembangan DITAMPART, sebuah platform dan metode inisiasi ruang oleh Hysteria. DITAMPART adalah motor modifikasi berukuran 6×10 meter yang dapat difungsikan sebagai panggung, ruang pamer, hingga wahana pertunjukan keliling. Sejak 2017, program ini telah menjangkau berbagai kota/kabupaten di Jawa Tengah, sebagai kelanjutan dari program Grobak Bioskop dan Serikat Menonton yang dimulai Hysteria sejak 2007.
Pendekatan ini, menurut Head Project PekaKota, Nella, adalah respons atas kaku dan eksklusifnya tata ruang kota. “Alih-alih menyesuaikan diri dengan regulasi yang rigid, Hysteria memilih menciptakan versinya sendiri: ruang yang lentur, adaptif, dan berbasis kapasitas kolektif,” ujarnya.
Pandangan senada datang dari Aan, mahasiswa Arsitektur, yang menilai perlunya komitmen kolektif dalam menciptakan ruang bebas dari kepentingan industri. Sedangkan Radit, partisipan lainnya, menyebut bahwa persoalan ruang kerap bersinggungan dengan persoalan ego dan inisiatif. “Karena tidak ada yang memulai, maka ruang alternatif menjadi solusi,” ungkapnya.
Acara dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter Legiun Tulang Lunak Bandeng Juwana: 20 Centimeters per Year, produksi Hysteria. Film ini mengeksplorasi isu lingkungan dan sosial akibat industrialisasi di Semarang, serta menjadi bagian dari Bandeng Keliling Asia Tour yang telah menjangkau lebih dari 20 titik di Indonesia dan luar negeri.
Malam ditutup dengan penampilan DJ RUWS yang menyuguhkan set musik open format. Alunan musik berhasil mencairkan suasana, menjadi penanda bahwa ruang alternatif tak hanya menjadi tempat diskusi, tapi juga merayakan kebersamaan dan ekspresi bebas dalam atmosfer yang egaliter.
Program “Meruang” membuktikan bahwa ruang alternatif dapat menjadi solusi konkret di tengah keterbatasan ruang publik, serta menciptakan ekosistem seni yang terbuka, inklusif, dan berdaya.(Christian Saputro/ril)




