Semarang – Gambang Semarang Art Community (GSAC) disokong oleh Dana Indonesiana Kementerian Kebudayaan RI, LPDP menaja gelaran Festival Bubak Semarang 2025. Gelaran Festival Bubak Semarang 2025 Kawasan Pecinan ini ditaja di Pelataran Kelenteng See Hoo Kiong, Gabahan, Semarang, dari 27 – 29 Juni 2029.
Direktur GSAC Tri Subekso mengatakan, Festival Bubak Semarang 2025 seri kedua bertema : Pecinan ini materinya berupa kegitan Pameran Ruang Publik Pecinan yang dikuratori Dina Prasetyawan yang berlangsung dari 27 – 29 Juni 2024.
Dan gelaran pertunjukan Gambang Semarang yang mengusung lakon “Pendekar Rompi Macan” yang dilangsungkan, Sabtu (28/06/2025). Dalam kesempatan ini juga dipentaskan Tarian Mangzhong dari Sanggar Tandawa Ratri dan Tari Gongfu dari Sanggar Nyi Pandansari.
“Pertunjukan GSAC kali ini mengusung lakon berlatar sejarah yang dikenal dengan Geger Pecinan. Jadi ini bukan sekadar tontonan tetapi juga kisah heroik ketika kaum Tionghoa dan Jawa bersekutu melawan Belanda,” ujar Tri Subekso yang dikenal juga sebagai Arkeolog.
Lebih lanjut, Tri Subekso yang juga selaku produser pementasan, mengatakan, pertunjukan dengan tajuk ini “Pedekar Rompi Macan” ini disutradarai Bagus Taufiqyrrohman dengan penata musik: Nicodemus Raka Manggala, penata tari: Aprysca Rima Kutria dan enata artistik: Septa Adya Anoraga. Sedangkan naskah ditulis oleh Khotibul Umam dan Pimpinan produksi: Joshua Alvin Pradipta.
Gelaran pertunjukan “Pendekar Rompi Macan” yang digarap artistik dengan latar panggung Klenteng See Hoo Kiong dan tata cahaya ciamik, tata cahaya dan musik yang indah menjadi sebuah tontonan yang memesonan . Pertunjukan spektakuler berhasil menyita perhatian penonton yang berjuang melawan dinginnya malam sehabis hujan.
Sementara itu, Kurator event Dina Prastyawan dalam pengantar mengatakan, Festival Bubak Semarang 2025. Bukan sekadar hajatan seni, festival ini adalah penanda waktu, napak tilas sejarah, dan panggung tempat semangat kebersamaan dikisahkan ulang melalui sosok legendaris yang kerap terlupakan: Nyi Bubak.
Ditambahkannya dengan diibalut nuansa artistik dan semangat akulturasi, Festival Bubak memanggil kita untuk menyelami kembali semangat Gambang Semarang—harmoni antara budaya Jawa, Tionghoa, dan segala warna kebudayaan yang tumbuh dari rahim kota ini.
“Sosok Nyi Bubak dihadirkan sebagai penjaga kenangan, simbol perempuan urban yang melintasi zaman, diam namun menyimpan nyawa kolektif dari pergerakan masyarakatnya. Ia bukan pahlawan bersenjata, melainkan roh yang mewakili kerja-kerja sunyi perempuan di balik sejarah,” beber Dina.
Diharapkan melalui Festival Bubak, para seniman, kurator, dan warga diajak untuk membubak—menandai permulaan baru. Sebuah undangan terbuka untuk turut merasa memiliki Semarang sebagai ruang bersama: kota yang tak hanya dihuni, tapi dirayakan.
“Dari sinilah Nyi Bubak bangkit kembali—bukan sebagai legenda yang mati, tetapi sebagai semangat hidup yang terus menari di antara lorong-lorong kota,” tandas Dimas Prasetyawan (Christian Saputro)