Oleh Christian Heru Cahyo Saputro *)
Semarang, Rabu (25/06/2025) — Langit menggantung tenang di atas Jalan Rinjani, sementara cahaya lampu dari sebuah gedung tua memancar hangat. Di dalamnya, di balik pintu kayu yang dibuka dengan pelan, waktu seperti melambat. Gedung itu adalah Hall Maxi Brain Academy, dan malam itu, musik bukan sekadar alunan nada, tapi peristiwa. Sebuah perjalanan estetik dan intelektual bertajuk “Nationalism versus Orientalism”, disuguhkan tanpa jeda selama enam puluh menit yang terasa melintas begitu cepat, nyaris seperti mimpi.
Dua seniman muda yang telah mengasah rasa dan teknik mereka di tanah jauh Rusia tampil malam itu: Lidya Evania Lukito pada biola, dan Jonathan C. T. Wibowo di balik piano. Keduanya membawa pulang kehangatan Eropa Timur ke tanah air, tak hanya dalam keahlian teknis, tetapi juga dalam kesadaran estetis yang menggali lebih dalam: siapa kita dalam musik? Dan bagaimana kita memandang “yang lain”?
Pagelaran dimulai dengan Cantabile, Op. 17 karya Paganini—sebuah pembuka yang lembut, liris, namun sarat ketegangan dalam lirihnya. Lidya memainkannya seperti bisikan dari masa lalu yang tak pernah selesai diceritakan. Tak lama, giliran tanah air menjawab lewat Fantasia in G Major, Op. 11 karya S.K. Atmojo, yang menyentuh seperti kisah lama yang diceritakan kembali dengan bahasa baru.
Mateus Grady Harsono dari Maxi Brain Academy, dalam pengantar konsernya, mengajak hadirin menyelami semangat zaman dalam musik abad ke-19—saat identitas menjadi arus utama kreativitas, dan para komponis mencari suara bangsanya sendiri, membenturkan nasionalisme dengan rasa ingin tahu akan dunia timur: orientalisme. “Ada mereka yang menggali akar tradisinya sendiri, dan ada pula yang menatap jauh ke negeri asing yang penuh teka-teki,” ucap Grady.
Konser pun bergerak dalam spektrum itu. Dari Valse-Caprice No. 6 karya Schubert yang diinterpretasi ulang oleh Oistrakh, lalu masuk ke dalam komposisi penuh nuansa Debussy dalam Violin Sonata in G Minor yang dimainkan dalam tiga bagian: Allegro Vivo, Intermedé, dan Finale. Setiap gerakan seperti babak dari drama batin, mengantar pendengar dari ketergesaan, ke keheningan, dan akhirnya pada pelepasan yang nyaris spiritual.
Dan ketika Tzigane karya Ravel ditutupkan sebagai penutup, ruangan mendadak menjadi api yang menyala dalam bisu. Musik ini bukan sekadar pertunjukan, ia menjelma menjadi dialog—antara barat dan timur, antara dalam dan luar, antara identitas dan ketakjuban.
Pauline Wonoadi, pendiri dan pemilik Maxi Brain Academy, menyampaikan rasa bangganya usai konser. “Kami ingin membangun ekosistem musik kamar yang kuat di Semarang, agar masyarakat bisa terus merayakan dan merenungkan musik sebagai bagian dari hidup,” katanya, penuh semangat.
Dari sisi kolaborator, Kolonel CAJ Yudi Wahyudi dari Ditajenad yang turut mendukung konser ini mengungkapkan harapannya agar semangat nasionalisme dalam musik tidak sekadar jadi retorika, tapi hidup dalam pengalaman mendalam seperti malam ini. “Ini lebih dari konser—ini adalah panggilan untuk mengenali siapa kita dan apa yang bisa kita bagi kepada dunia,” ujarnya lewat sambungan telepon.
Lidya dan Jonathan, dua musikus yang membawa angin Rusia dalam hati mereka, mengakhiri malam itu dengan senyum dan ucapan terima kasih. Tak ada encore, karena setiap notasi telah berbicara cukup dalam. Dan mungkin, itulah yang membuat konser ini memesona: ia bukan pertunjukan, tapi perenungan yang dibalut harmoni.
Malam itu, Semarang menjadi ruang perjumpaan antara nasionalisme yang menjejak tanah dan orientalisme yang menatap cakrawala. Dalam denting piano dan getar dawai, kita diajak bukan hanya mendengar, tapi merasa—bahwa musik, pada akhirnya, adalah jembatan jiwa dari satu dunia ke dunia lain.
*) Jurnalis, pemerhati musik tinggal di Tembalang, Semarang.



Mateus Grady Harsono dari Maxi Brain Academy, dalam pengantar konsernya, mengajak hadirin menyelami semangat zaman dalam musik abad ke-19—saat identitas menjadi arus utama kreativitas, dan para komponis mencari suara bangsanya sendiri, membenturkan nasionalisme dengan rasa ingin tahu akan dunia timur: orientalisme. “Ada mereka yang menggali akar tradisinya sendiri, dan ada pula yang menatap jauh ke negeri asing yang penuh teka-teki,” ucap Grady.
