Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro *)
Di sebuah sudut senyap di Pecinan Semarang, di antara jejak-jejak hunian dan lorong-lorong sempit yang beraroma nostalgia, berdiri sebuah bangunan yang menyimpan denyut tak kasatmata dari zaman yang tak lekang—Boen Hian Tong. Gedung ini bukan sekadar saksi bisu masa lalu, melainkan penjaga sunyi dari satu altar yang begitu istimewa, satu-satunya di Indonesia: altar untuk Dewa Seni Lo Kun Ya.
Di lantai dua bangunan yang kini dikenal sebagai Rasa Dharma, di Jalan Gang Pinggir No. 31, aroma dupa menguar pelan, mengantarkan doa dan harapan ke altar kecil namun penuh kharisma. Di sana, dalam balutan jubah kuning keemasan berhias naga, berdirilah sosok Lo Kun Ya—wajahnya tenang, janggutnya panjang bagai akar waktu, dan tatapannya menyentuh setiap seniman yang datang mencari terang dari semesta. Warna kuning pada jubahnya bukan sembarang warna: ia lambang kemuliaan dan kebijaksanaan, sementara naga yang menghiasinya adalah simbol kekuatan dan semangat spiritual yang membara.
Namun Lo Kun Ya tak hadir dalam wujud semata. Ia hadir dalam gema tabuhan, dalam kidung tua yang bergetar lirih, dalam barongsai yang menari di tengah keramaian Imlek. Ia hidup dalam getaran yang dirasakan, bukan sekadar dilihat. Seperti yang diungkapkan Wense Andi Gunawan, salah satu pengurus Boen Hian Tong, “Shengming Lo Kun Ya — dalam maknanya terkandung nyawa yang dititipkan pada seni. Ia tidak hadir untuk disembah megah, tapi untuk dijalani dengan tulus.”
Di Boen Hian Tong, seni bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah ibadah dalam bentuk paling manusiawi. Pelestarian di tempat ini tidak menuntut panggung besar atau sorotan kamera. Ia cukup hadir dalam ruang latihan kecil, ketika seorang anak muda sabar menekuni denting gamelan; ketika suara tua bergetar menyanyikan tembang warisan; ketika seorang penari menarikan cerita leluhur hanya disaksikan bulan yang mengintip dari sela jendela kayu di antara kumandang suara Lamkwan.
Lo Kun Ya adalah napas yang meresap diam-diam ke dalam jiwa para pelaku seni. Ia bukan dewa yang menuntut sesajen megah. Ia hadir dalam ketekunan. Dalam usaha menjaga apa yang mulai dilupakan. Dalam cinta yang tak mengharap tepuk tangan, tetapi tetap menari, tetap bernyanyi, karena percaya bahwa warisan tak boleh mati.
Boen Hian Tong menjadikan keberadaan Lo Kun Ya sebagai semangat—sebuah shenjing yang tak hanya menghormati masa lalu, tetapi merangkul masa depan. Di tempat ini, seni adalah bahasa lintas generasi, lintas dunia. Musik Tionghoa klasik Lamkwan masih dimainkan, barongsai tetap bergemuruh, pertunjukan teaterwayang, potehi, masih dipentaskan meski hanya di hadapan beberapa pasang mata.
Karena di altar Lo Kun Ya, para seniman percaya bahwa seni adalah jembatan antara manusia dengan yang ilahi. Ia bukan sekadar hiburan, tapi pengingat akan siapa kita dan dari mana kita datang. Dan selama ada satu lagu yang dinyanyikan dengan kasih, satu gerak tari yang dipelajari dengan tekun, maka Lo Kun Ya akan tetap berjalan—dalam langkah kita, dalam jiwa kita.
Ia adalah penjaga abadi harmoni, bukan hanya antara nada dan gerak, tapi antara manusia dan warisan yang harus dijaga.
*) Jurnalis suka motret dan menulis tentang tradisi, kesenian dan kebudayaa, tinggal di Tembalang, Semarang.




