Semarang — Di sebuah sisi di Jalan Untung Suropati, Manyaran, Semarang Barat, Markas Roemah Difabel (RD) tiba-tiba menjadi lebih hidup dari biasanya. Tidak hanya oleh suara anak-anak yang bersahutan atau langkah-langkah kecil yang riang berlarian, tapi juga oleh semangat inklusi yang mekar dari dalam. Di tengah musim liburan sekolah yang lazimnya diisi dengan rehat atau jalan-jalan, RD justru menggelar sesuatu yang berbeda: Liburan Inklusi.
Program ini menyasar anak-anak dari jenjang SD kelas 4 hingga SMP kelas 9, dan dibagi ke dalam dua tahap pelaksanaan: 30 Juni–2 Juli dan 7–9 Juli 2025. Pada tahap pertama, sebanyak 22 peserta ikut serta—terdiri atas 19 anak difabel dan 3 anak non-difabel. Angka itu mungkin kecil, tapi makna yang terbangun dari setiap harinya, begitu besar dan luas.
Di balik kegiatan ini, berdirilah sosok Noviana Dibyantari, atau yang lebih akrab disapa Bunda Novi—pendiri Roemah Difabel, yang telah mendedikasikan dirinya untuk menjembatani inklusi sosial sejak usia dini. “Liburan ini bukan sekadar jeda dari pelajaran sekolah,” ujarnya, “tetapi adalah ruang tumbuh, tempat anak-anak belajar menerima diri, memahami sesama, dan menyatu dalam semangat kebersamaan.
Dua program utama dirancang untuk mengisi hari-hari libur itu dengan kegiatan penuh warna dan makna. Program pertama bertajuk:“Paket Liburan Inklusif: Bertualang Tanpa Batas, Berteman Tanpa Syarat.”
Sebuah ruang belajar non-formal yang ramah bagi anak-anak dengan berbagai kemampuan, khususnya mereka yang telah lancar membaca dan menulis. Di sinilah mereka diajak menggali potensi, membangun rasa percaya diri, dan belajar menyuarakan isi hati mereka—tanpa takut dinilai berbeda.
Sementara itu, program kedua bertajuk: “Berkarya Bersama: Bertualang Tanpa Batas, Berteman Tanpa Syarat.”
Di sinilah anak-anak mendapat kesempatan istimewa belajar publik speaking bersama Bang Odi, seorang mentor yang membimbing mereka berbicara di depan umum dengan percaya diri. Lebih dari sekadar teori, mereka juga berkunjung langsung ke studio TVKU dan Radio Imelda FM, Gajahmada FM, Suara Semarang FM, berlatih menjadi penyiar dan presenter. Mikrofon-mikrofon yang biasanya dingin dan formal, kini menjadi alat bermain dan berekspresi.
Tak berhenti di sana, liburan inklusif ini juga mengajak peserta menyentuh dunia nyata melalui kelas pertanian hidroponik bersama Ibu Janti. Di lapangan, tangan-tangan kecil itu menanam kangkung, mengenal tanaman sebagai sahabat, dan belajar prinsip pertanian modern yang ramah lingkungan.
Tawa dan peluh bersatu dalam proses belajar yang organik dan menyenangkan.
Kemudian tibalah saatnya berpetualang di dunia rasa. Dalam Cooking Class bersama Ibu Enday Nugroho dari Warung Wasabi, anak-anak belajar membuat sushi. Tak hanya mengenal budaya baru, mereka juga melatih motorik halus, ketelatenan, dan tentu saja kemandirian.
Sebagai penutup yang sarat makna, peserta diajak mengikuti kelas melukis bersama Kak Giovanni Susanto. Kuas dan warna menjadi sarana berbicara tentang isi hati. Imajinasi mereka tumpah ke atas kanvas, mencipta semesta yang tak dibatasi oleh logika, hanya oleh cinta dan kebebasan berekspresi.
“Program ini dirancang untuk mendorong kreativitas, kemandirian, dan kebersamaan di antara anak-anak dari berbagai latar kemampuan,” tegas Bunda Novi.
“Di Roemah D, kami percaya bahwa inklusi bukan sekadar slogan. Ia hidup, tumbuh, dan bisa dirasakan—dari tawa, dari sentuhan, dari pelukan, dan dari keberanian anak-anak ini untuk menjadi dirinya sendiri.”
Dari sebuah rumah sederhana di Semarang Barat, Liburan Inklusi telah memberi pelajaran yang jauh lebih besar dari apa yang bisa dituliskan di rapor: bahwa ketika ruang diciptakan dengan cinta, semua anak bisa tumbuh bersama—tanpa batas, tanpa syarat. (Christian Saputro)




