Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro *)
Di bawah langit Banyumanik yang ditaburi lampu lentera, helai-helai tembang tradisi berkelindan dengan angin malam. Gema musik, langkah tari, dan ratapan lirih sastra menjelma menjadi nyanyian jiwa dalam helat akbar Malam Puncak Milad ke-16 Pesantren dan Rumah Kebudayaan “Surau Kami”. Sebuah malam yang tidak sekadar merayakan waktu, tetapi menandai detak panjang sebuah perjalanan ruhani—tempat cahaya, kesadaran, dan kebudayaan bertemu dalam satu ruang: Surau Kami.
Surau ini tak besar dalam ukuran, tapi luas dalam makna. Bertengger di Jalan Tusam Raya, Pedalangan, ia menjadi titik temu para pejalan jiwa: budayawan, santri, musisi, hingga penyair. Malam itu, Sabtu (05/07/2025), Surau Kami menyulut pelita kesadaran yang hangat—menerangi wajah-wajah yang rindu akan ruang hidup yang jujur, yang tumbuh tanpa pamrih.
Denting gitar Handy Hadiwikarta dari Bandung membuka panggung dengan raungan nada yang memecah sunyi. Musiknya tak sekadar menghangatkan udara yang dingin, melainkan menjadi jalan pembuka menuju ruang batin yang lebih dalam. Lalu, hadir tarian sarat filosofi dari Gus Ari dan Wulan, mempersembahkan tubuh sebagai aksara yang menuliskan makna kehidupan. Tak kalah magis, kolaborasi Nyai Kawung dari Boyolali dengan tari sufi menghadirkan momen sunyi yang membius: tarian yang tidak sekadar ditonton, tapi dirasakan—dengan dada.
Dalam puncak malam yang penuh aura itu, Kiai Rahmat Agus—sang Guspar Wong—menyampaikan sambutan yang lebih menyerupai puisi ketimbang pidato. Ia berkata, “Surau Kami ibarat manusia beranjak dewasa. Kalau digenggam seperti bara, bisa membakar. Maka biarkan ia berjalan alami.” Kalimatnya mengandung bara renungan. Ia menyiratkan bahwa ruang ini bukan milik siapa-siapa, tapi menjadi milik semua yang ingin bertumbuh dalam cahaya. “Robohnya Surau Kami,” gurau Guspar, “sudah ditulis A.A. Navis. Tapi ini bukan roboh. Ini menyala.”
Dan benar, malam itu Surau Kami tak menunjukkan tanda-tanda akan padam.
Justru, ia menyalakan. Hadir pula Camat Banyumanik, Ika Kriswari, yang tak menyangka ada ruang sekaya ini di wilayahnya. “Ini bukan hanya pesantren, ini ruang karakter. Ruang budaya,” ucapnya, menambahkan harapan agar Surau Kami menjadi teladan yang menyalakan api serupa di tempat lain.
Orasi budaya yang ditunggu pun tiba. Dr. Muhammad Haris, anggota DPR RI dan budayawan lintas medan, menyampaikan pesan dalam nada lirih sekaligus membakar. “Surau Kami bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah ruang hidup. Budaya bukan barang mati yang dipajang, tetapi api yang harus dijaga. Dan Surau Kami menjaga nyala itu dengan cinta, kesederhanaan, dan ketulusan,” katanya.
Ia mengajak hadirin tidak hanya menjadi penonton budaya, tapi pelaku dan penjaga. Ia menyentil lembut kenyataan dunia yang semakin bising, yang menuntut ruang-ruang sunyi seperti Surau Kami untuk tetap hadir, menjadi pelabuhan, menjadi taman jiwa. “Setiap tarian malam ini membawa pesan. Kita sedang menyalakan peradaban,” serunya.
Namun peradaban bukanlah sekadar bangunan luar. Mbah Minin, pembina Komunitas Nyai Kawung, mengajak masuk lebih dalam lagi: ke dalam batin. Tausiyahnya lirih, mengandung keluhuran rasa dan filsafat spiritual yang mendalam. “Cinta adalah raos,” ucapnya dalam nada pelan, “bukan milik pikiran, tapi ruang sunyi antara dzikir dan takdir.” Ia mengingatkan bahwa dalam hidup yang semakin ramai, kerap kita kehilangan arah karena terlalu mencintai suara luar, lupa mendengar getar dalam.
Malam milad itu adalah mosaik: antara petikan gitar dan langkah tari, antara kata-kata Guspar dan lirihnya doa Mbah Minin. Tapi yang paling terasa adalah kejujuran atmosfernya. Tak ada panggung tinggi, tak ada kemegahan palsu. Yang hadir adalah manusia-manusia yang rindu: pada nilai, pada cahaya, pada rumah. Dan Surau Kami, telah menjadi rumah itu. Rumah yang menghidupkan, bukan sekadar melindungi.
Enam belas tahun bukan waktu singkat. Tapi juga bukan akhir. Sebab api yang dijaga Surau Kami bukan untuk dikabarkan, melainkan untuk diwariskan. Dari tangan ke tangan, dari doa ke doa. Dari panggung kecil ini di Banyumanik, sebuah kesadaran dilahirkan: bahwa budaya bukan urusan masa lalu. Ia adalah denyut hari ini, dan arah esok hari.
Selamat milad ke-16, Surau Kami. Teruslah menjadi nyala. Dalam sunyi, dalam bising, dalam cinta yang tak berharap kembali.
*) Jurnalis, Pejalan mengakrabi jagad kesenian, tinggal di Tembalang, Semarang.