Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro
Ditengah hiruk-pikuk kota Semarang yang kian padat oleh geliat zaman, Sanggar Sobokartti berdiri sebagai oase budaya, tempat di mana napas Jawa masih berhembus lembut melalui lenggok tari dan denting gamelan. Tahun ini, lembaga budaya yang berdiri sejak 1920 itu kembali menyelenggarakan Uji Kompetensi Siswa Tari 2025—sebuah ritual tahunan yang telah berusia 16 tahun, namun justru kian matang dan bermakna.
Tema tahun ini, *“Marsudi Ing Reh Budaya, Karana Budaya dadya ukaraning Jiwa Jawi,”* bukan sekadar untaian kata-kata. Ia adalah panggilan jiwa untuk kembali menyapa akar—mengajak kita memelihara warisan leluhur, karena di sanalah cermin kualitas dan jati diri kita sebagai wong Jawa. Di balik setiap gerak tangan, tindak kaki, dan ekspresi wajah para siswa, mengalir kesadaran akan nilai, rasa, dan spiritualitas budaya.
Sebanyak 209 siswa yang tergabung dalam 61 kelompok tampil di Gedung Sobokartti pada 28–29 Juni 2025. Mereka tidak sekadar menari; mereka menuturkan kisah, menghidupkan kembali nilai-nilai, dan menjalin dialog batin dengan para leluhur. Dua puluh empat repertoar tari disajikan dengan penuh penghayatan, disimak dan dinilai oleh para empu seni seperti Haryadi Dwi Prasetya, Paminto, dan Endik Guntaris—sosok-sosok yang menjaga nyala api budaya tetap menyala.
Djamil Sutrisno, Ketua Umum Perkumpulan Sobokartti, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar menguji teknis gerak, tetapi juga jiwa yang tertanam dalam tubuh penari. Sementara Ketua Pelaksana, Darmadi, berharap panggung ini menjadi tempat para siswa menempa mental dan kepekaan rasa, sekaligus menumbuhkan kepercayaan diri untuk terus melangkah dalam jalan budaya.
Sanggar Sobokartti bukan hanya tempat belajar menari. Ia adalah ruang perjumpaan antara masa lalu dan masa depan, antara nilai luhur dan semangat muda. Di sinilah, jiwa Jawa yang kerap tergerus arus globalisasi diberi ruang untuk tumbuh kembali—dengan cara yang anggun dan bermartabat.
Lewat tarian, mereka tidak hanya bergerak. Mereka membangkitkan yang purba dalam diri kita semua: jiwa Jawa yang adiluhung.
*) Penulis adalah jurnalis dan pemerhati budaya tradisi yang tinggal di Tembalang, Semarang.




