Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro *)
Disudut kota yang kian riuh oleh kebisingan digital, ada suara-suara yang memilih untuk tetap pelan. Tidak redup, tidak pula padam, tetapi lirih yang menggema—seperti gumam puisi yang tak pernah selesai dibaca. Suara-suara itu berasal dari sebuah komunitas di Semarang: Bengkel Sastra Taman Maluku (BeSTM), yang tahun 2025 ini memasuki usia kesembilan. Komunitas BesTM yang didirikan Sulis Bambang terus bertahan menggemakan literasi dan minat baca ditengah dunia digital yang terus meragsek merampok jagad sastra tanpa henti.
Sembilan tahun bukan waktu yang panjang dalam kalender sejarah, tapi ia cukup untuk menguji kesetiaan dan membuktikan makna. Didirikan oleh Sulis Bambang, BeSTM tak lahir dari ruang nyaman atau panggung sorak. Ia muncul dari gerakan nurani, lahir pertama kali bukan di perpustakaan atau gedung kesenian, tapi di panggung perlawanan: sebuah acara dukungan untuk Wanita Kendeng di Sobo Kartti, Semarang, Mei 2016.
Di tengah lantunan puisi dan nyanyian harapan, nama “BeSTM” disebut untuk pertama kalinya. Sebuah nama yang kelak menjadi rumah bagi kata-kata yang tak ingin mati dan gagasan-gagasan yang menolak dilupakan.
Sunyi yang Menjalar Sampai ke Bilik Rumah
Dalam kilat perubahan zaman yang mendesak manusia ke layar dan notifikasi, BeSTM memilih jalan yang lain. Ia bergerak dalam sunyi, menyusup ke kampung-kampung, masuk ke ruang paling personal dalam rumah-rumah yang mungkin tak lagi mengenal buku, untuk menghidupkan kembali api kecil literasi. BeSTM menjadi suara alternatif di antara hiruk-pikuk dunia digital—bukan untuk melawan, tetapi untuk menyeimbangkan.
Dari acara Kumandang Sastra di RRI hingga membangun basis kegiatan di Taman Maluku, BeSTM menjelma ruang belajar yang inklusif. Tak hanya menulis dan membaca, mereka belajar seni panggung, tata cahaya, vokal, musikalisasi puisi, dan drama. Semua itu dipraktikkan dalam acara-acara seperti peringatan Hari Lahir NH Dini, pentas Selendang Biru di Jakarta, hingga pentas Malam Bulan Purnama di Yogyakarta.
Sedekah Budaya: Sastra untuk Semua
BeSTM menyebut kegiatan pengabdian sastranya dengan nama yang khas: Sedekah Budaya. Ini bukan hanya program, melainkan sikap. Dari mengisi kelas-kelas sastra di SD, SMP, SMA, hingga menyelenggarakan workshop menulis dan mengenalkan alat musik karinding, semua dilakukan tanpa batas.
Dalam Sedekah Budaya, para penulis muda diajak mengenal teknik menulis puisi dan cerpen, belajar membaca puisi dengan jiwa, dan menyerap ilmu langsung dari para maestro seperti Taufik Ismail, Ahmad Tohari, Sosiawan Leak, dan Triyanto Triwikromo. NH Dini, Prof. Suminto A Sayuti, Handri TM, Sitok Srengenge, Enggar Adi Broto dan masih banyak lagi.
Ini adalah perayaan belajar yang meriah sekaligus khidmat, tempat sastra bukan sekadar mata pelajaran, tapi jendela untuk memahami dunia.
Saat Pandemi Menjadi Hening
Namun tak semua jalan mudah ditempuh. Ketika pandemi Covid-19 menyapu dunia, kegiatan BeSTM terhenti total. Beberapa anggota berpaling, menekuni usaha, pekerjaan, atau sekadar mencari ketenangan di luar kata-kata. Tapi BeSTM tidak bubar. Ia diam, menunggu waktu untuk berbicara lagi.
Kini, dengan semangat yang diperbarui, BeSTM tidak lagi membuka kelas rutin. Tugas itu telah dilanjutkan oleh Balai Bahasa Jawa Tengah yang memiliki jangkauan lebih luas. BeSTM kini memilih jalur lain: penerbitan buku, dua kali setahun, bersamaan dengan acara Sedekah Budaya atau ulang tahun komunitas.
Sementara kegiatan besar hanya digelar setiap empat tahun: peringatan NH Dini bertajuk “Dini Kita Nanti”, sebagai bentuk penghormatan terhadap sastrawan besar yang menjadi salah satu ruh komunitas ini.
Menjaga Api, Menyemai Cinta
Bengkel Sastra Taman Maluku tak pernah memaksa siapa pun untuk tinggal. Setiap orang bebas datang dan pergi, seperti hujan yang singgah sebentar di musim panas. Tapi bagi yang menetap, BeSTM adalah ladang kata, tempat cinta pada sastra disemai tanpa pamrih.
Kini, memasuki tahun kesembilan, BeSTM masih berdiri. Ia mungkin kecil dan sunyi, tapi langkahnya nyata. Bersama Sulis Bambang dan para sahabatnya, komunitas ini terus menjaga api sastra di tengah dunia yang dingin oleh algoritma.
Karena di dunia yang penuh kebisingan, kadang suara paling jujur justru datang dari mereka yang memilih diam—untuk menulis, membaca, dan mencintai dalam senyap.Dan dari sana, kata-kata bisa kembali menemukan rumahnya. !
Dirgahayu Bengkel Sastra Taman Maluku. Pantang Surut, Terus Melaju !
*) Jurnalis, tukang tulis penyuka jagad literasi, tinggal di Tembalang, Semrang.