Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro *)
Pada satu titik di panggung kehidupan, seseorang tak hanya memerankan tokoh—ia menjadi naskah, menjadi panggung itu sendiri. Suhartono Padmo Sumarto, yang kita kenal sebagai Maston Lingkar atau Mas Ton, adalah salah satunya. Ia tak hadir untuk menjadi sorotan. Ia hadir untuk menjadi suluh. Dan kini, ketika raganya telah kembali ke bumi pada 28 Juni 2025, pada usia 71 tahun, nyala yang ditinggalkannya masih hangat, masih membimbing.
Di antara kursi-kursi reyot dan tirai panggung yang mengelupas, di antara aroma debu dan kertas naskah yang menguning, di sanalah Teater Lingkar Semarang berdiri—dengan fondasi kesetiaan, bukan kemewahan. Didirikan Maston pada 4 Maret 1980 di Genuk Krajan II/9 Tegal Wareng, komunitas ini lahir bukan dari strategi, tapi dari kerinduan: bahwa manusia membutuhkan ruang untuk memahami hidup lewat adegan dan jeda, bukan hanya lewat kata.Maston tidak membangun panggung agar dilihat, tapi agar orang bisa melihat—diri mereka sendiri.
Teater yang Hidup di Luar Panggung
“Teater iku urip, dudu mung pentas.” Kalimat ini bukan sekadar semboyan. Bagi Maston, inilah napas kehidupan. Ia mengajar bukan hanya dialog, blocking, dan gesture. Ia mengajarkan untuk membaca kehidupan sebagai skenario yang tak pernah selesai. Bahwa panggung yang sesungguhnya adalah pasar, gang sempit, rumah tangga, dan sunyi batin sendiri.
Di bawah filosofi “Teteg, Tekun, Teken, Tekan”, Teater Lingkar menjelma rumah pendidikan batin yang membentuk generasi demi generasi menjadi manusia utuh: yang jujur, berani, peka, dan bersahaja. Para alumninya kini tersebar, tapi mereka selalu tahu dari mana cahaya pertama itu menyala.
Wayangan Jumat Kliwon: Membaca Zaman Lewat Bayang-Bayang
Tak cukup di dunia teater, Maston membawa kesadarannya pada akar tradisi lewat Wayangan Jumat Kliwon, yang ia gagas sejak 1992. Lebih dari 300 kali pertunjukan digelar di sudut-sudut kota Semarang. Bukan hanya sebagai pertunjukan budaya, tapi sebagai ruang tafsir dan permenungan: tentang zaman, tentang manusia, tentang arah.
Maston tidak hanya memainkan wayang, ia memanusiakan kisah. Ia percaya bahwa seni bukan untuk memanjakan mata, tapi menyentuh jiwa. “Seni iku gawe eling, dudu mung gawe glem,” begitu katanya. Maka setiap pertunjukan wayang adalah undangan untuk diam dan berpikir. Setiap dalangannya adalah pelajaran, bukan hiburan.
Bahasa, Sanepo, dan Jiwa yang Tak Kering
Ia tidak meledak-ledak. Tapi kata-katanya menusuk pelan, seperti air meresap ke tanah. Sanepo Jawa menjadi senjatanya—halus tapi tajam, kadang menggelitik, kadang menyentak. Ia melatih teater bukan hanya dengan teknik, tapi dengan hikmah yang terus dihidupi. Beberapa kalimatnya kini menjadi semacam mantra yang terus dilafalkan para muridnya:”Kudu wani urip, lan wani urip kanti urip”(Beranilah hidup, dan jalani hidup dengan sepenuh nyawa)”Yen ora ngerti, ojo rumangsa ngerti. Nanging nek wis ngerti, ojo ngaku-ngaku ngerti dewe.”(Kalau belum paham, jangan merasa tahu. Kalau sudah tahu, jangan merasa paling tahu)Setiap kata bukan hanya ucapan. Tapi pancaran nilai, jejak laku hidup.
Kepergian yang Menyalakan
Ketika kabar duka itu datang, Semarang menjadi lebih sunyi dari biasanya. Tapi kesunyian itu bukan kehilangan. Ia lebih menyerupai jeda—seperti jeda panggung sebelum klimaks terakhir. Di TPU Ketileng, jenazah Maston dimakamkan, diiringi oleh rekan-rekan seniman, budayawan, murid-murid, dan para penonton setianya. Tapi kehadiran mereka tak hanya untuk melepas, tapi untuk melanjutkan.
Karena hidup Maston tak pernah selesai dalam satu pentas. Ia adalah naskah terbuka yang akan terus ditulis ulang oleh generasi yang mencintai kehidupan seperti ia mencintai teater.
Epilog: Lakon yang Abadi
Maston Lingkar telah tiada. Tapi lakonnya belum usai. Selama masih ada ruang sunyi yang mencari nyala, selama masih ada anak muda yang menggenggam naskah dengan tangan gemetar, selama panggung masih dibangun dari kesederhanaan dan harapan—Maston hidup.
Ia hidup dalam jeda, dalam suara serak aktor muda, dalam semangat yang berkata:
“Jangan lelah menjadi manusia utuh. Jangan takut hidup sebagai panggung.”
Selamat jalan, Mas Ton ! Terima kasih karena telah menunjukkan, bahwa dalam gelap zaman, satu pelita cukup untuk menjaga kita tetap berjalan.
*) Jurnalis, tuakang tulis penyuka dunia seni, tinggal di Tembalang, Semarang.




