Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro *)
Di sebuah rumah budaya mungil di Jalan Mataram 653 Semarang, senja menggantung pelan di jendela Klub Merby. Namun di dalam ruangan itu, terang menyala dari mata lima gadis kecil—mereka bukan sekadar anak-anak yang menggambar, mereka adalah pelukis yang sedang menyusun suara. Lewat warna-warna jujur, mereka menyuarakan isi hati yang belum tentu bisa diwakili kata-kata.
Pameran bertajuk “Gadis Kecil” ini digelar dari 11 hingga 25 Juli 2025 untuk memperingati Hari Anak Nasional. Pameran ini bukan hanya serangkaian lukisan yang dipajang di dinding. Ia adalah ruang aman, ruang tumbuh, dan ruang dengar bagi anak-anak perempuan—di tengah dunia yang kadang terlalu bising, kadang terlalu sunyi bagi jiwa muda.
Ketika Warna Menjadi Bahasa Hati
Lima pelukis muda: Jehan, Mahira, Aliya, Tanisha, dan Keisha—berusia 11 hingga 14 tahun—menyampaikan apa yang tak sempat terucap: tentang tubuh dan identitas, tentang rumah yang kadang nyaman, kadang sunyi, tentang media sosial yang menjadi cermin sekaligus bayang-bayang, tentang sekolah, tentang dunia.
Di tangan mereka, kuas bukan sekadar alat, tetapi jembatan antara batin dan dunia luar. “Mereka mungkin masih disebut gadis kecil, tapi lukisan mereka bicara tentang dunia yang mulai mereka pahami,” ujar Krisna dalam pengantar kuratorial pamerannya.
Lukisan-lukisan ini memang tidak berisik. Ia tenang, seperti suara dalam hati yang minta didengar. Ada yang menggambarkan pertemanan yang retak, ada yang memotret kecemasan tubuh, ada pula yang merayakan kehangatan keluarga. Setiap kanvas menjadi cermin kecil dari dunia besar yang mereka jalani.
Jejak Langkah Kecil di Ruang Besar
Pameran ini menjadi mungkin berkat kerja bersama: Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, PUSPAGA, APSAI, Anantaka, Forum Media SAPA, hingga Kokola. Kerja lintas sektor ini bukan hanya mendukung, tapi juga membangun pondasi: bahwa tumbuh kembang anak harus ditopang oleh semua, bukan hanya keluarga.
Di balik penyelenggaraan, ada Grace W. Susanto, pendiri dan Direktur Klub Merby, yang menyebut pameran ini sebagai bagian dari upaya membentengi anak-anak dari gerusan budaya digital. Merby bukan sekadar ruang seni, melainkan rumah untuk belajar kearifan lokal—dari gamelan hingga batik, dari tari tradisi hingga lukis ikat.“Anak-anak bisa belajar tentang budaya. Merby berperanserta mencerdaskan bangsa,” kata Grace dalam sambutannya.
Sementara itu, di sela riuh rendah pembukaan pameran, Camat Semarang Selatan, Ronny Nugroho, berdiri dengan senyum takzim. Dalam nada yang jujur dan hangat, ia mengakui bahwa sebelumnya ia belum mengenal sepenuhnya keberadaan Klub Merby—sebuah ruang budaya yang telah lama berdenyut di wilayahnya, menyemai benih seni dan kearifan lokal di tengah geliat kota.
“Terus terang saya baru tahu ada Klub Merby yang menjadi salah satu pusat budaya Semarang di wilayah saya,” ucapnya, tak malu menuturkan keterlambatan, yang justru menjadi awal dari janji.
Tatapannya menyapu dinding-dinding yang dipenuhi karya anak-anak, seolah menyaksikan potensi yang selama ini terpendam dalam diam. Baginya, pameran Gadis Kecil bukan hanya peristiwa seni—ia adalah panggilan. Sebuah pengingat bahwa ruang budaya seperti ini tak bisa dibiarkan berjalan sendiri.
“Ke depan, tentu bisa bersama-sama untuk mengadakan kegiatan pembinaan budaya, baik untuk anak-anak maupun orang tua, khususnya di wilayah Kecamatan Semarang Selatan,” lanjutnya.
Dalam kalimatnya yang sederhana, ada harapan akan lahirnya jejaring baru: antara pemerintah lokal, ruang seni, dan masyarakat. Bahwa Klub Merby tidak lagi berdiri sebagai pulau kecil, melainkan bagian dari sungai besar pembinaan budaya di jantung kota.
Di sinilah, dialog antara kekuasaan dan kesenian menemukan nadanya yang merdu: bukan dalam janji yang tinggi, tapi dalam kesediaan untuk hadir, mendengar, dan berjalan bersama.
Seremoni Kentongan dan Suara-suara yang Didengar
Jumat sore, 11 Juli 2025, pameran ini dibuka dengan pemukulan kentongan. Bukan lonceng. Bukan tepuk tangan. Kentongan: suara masa lalu yang dulu digunakan untuk memberi kabar, membangunkan, mengingatkan. Kini, kentongan dipukul bukan untuk bahaya, tapi untuk harapan.
Dalam pembukaan, talkshow reflektif bertajuk “Waspada Layar, Ciptakan Ruang Aman bagi Anak” memperluas percakapan. Tsaniatus Suhanis dari Anantaka bicara soal literasi digital. Psikolog Desi Maulida dari PUSPAGA menggarisbawahi pentingnya ruang emosional bagi anak.
Moderator Septy Wulandari dari Forum Media SAPA menjaga agar percakapan tetap hangat dan bernas.
Diskusi ini mengajak para orang tua, pengajar, dan pendamping untuk tidak sekadar membatasi, tapi menemani. Untuk tidak hanya memberi larangan, tapi juga ruang aman. Karena ruang aman bukan sekadar bebas dari kekerasan, tapi juga bebas untuk bertumbuh.
[ Gadis-gadis Kecil yang Bicara dengan Rasa
Kelima seniman muda ini bukan nama-nama yang baru mendekati seni. Mereka sudah bersahabat dengan kuas dan warna sejak usia dini, dan masing-masing membawa dunia uniknya sendiri.
Ada Tanisha Maleka Hasti (Sasha), 14 tahun, bukan hanya pelukis tapi atlet senam berprestasi. Lukisannya adalah gabungan antara disiplin gerak dan kelembutan hati.
Kemudian Mahira Alifarahma Prihadi, 12 tahun, melukis benda sehari-hari dengan warna hangat yang mengandung ketenangan. Seolah setiap benda menyimpan cerita yang siap dibaca. Lalu, Keisha Sabrina Putri (Keke), anggota Klub Merby sejak 2017, dikenal karena minatnya pada merajut, fotografi, dan seni rupa. Lukisannya memuat perjalanan dan pertanyaan-pertanyaan tumbuh. Berikutnya, Jehan Kamilia Ulfa (Jeje), 11 tahun, pelukis sekaligus atlet taekwondo, menghadirkan dunia imajinasi yang eksplosif dan energik. Goresannya tak bisa ditebak, tapi tak pernah kehilangan nyawa. Tentunya, Aliya Iffa Karima, 12 tahun, mencintai eksplorasi teknik dan media. Dari Miss Krisna, ia belajar bahwa melukis tak sekadar estetika, tapi ungkapan hati.
Bukan Sekadar Pameran
Menurut Krisna Priyastika, salah satu pengampu di Klub Merby, pameran ini adalah bentuk pengakuan—bahwa anak perempuan adalah subjek penciptaan. Mereka bukan objek yang dilindungi secara pasif, tapi manusia kecil yang perlu didengar secara aktif. “Setiap goresan adalah langkah kecil menuju masa depan yang lebih mendengar, lebih peduli,” ujar Krisna.
Dan di sinilah, di antara semburat warna dan tawa-tawa kecil, dunia anak-anak bukan lagi sekadar dunia mainan. Ia adalah dunia yang penuh pertanyaan, perasaan, dan pencarian. Dan “Gadis Kecil” memberi mereka panggung, ruang, dan perhatian.
Belajar Mendengar dari Kanvas Kecil
Di tengah dunia yang sering kali terburu-buru, kita diajak berhenti sejenak oleh lima gadis kecil. Bukan untuk menyimak prestasi, tapi mendengarkan isi hati. Pameran “Gadis Kecil” bukan tentang anak-anak yang jadi seniman. Tapi tentang anak-anak yang memilih bersuara. Dan barangkali, yang lebih penting dari mereka bicara adalah: kita belajar mendengarkan.
Pameran “Gadis Kecil” masih berlangsung hingga 25 Juli 2025 di Klub Merby, Jl. Mataram 653, Semarang. Pintu terbuka untuk siapa pun yang ingin belajar menyimak dunia dari sudut pandang yang jujur dan penuh warna. Selamat berpameran gadis kecil, dedahkan suaramu di kanvas kehidupan, gapai mimpimu jangan sampai tersandera gawai !
*) Jurnalis, tukang foto dan tulis mengabidikan kisah-kisah kecil kehidupan, tinggal di Tembalang, Semarang.




