Oleh : Dr. Hasbullah, M.Pd.I
Wakil Ketua Majelis Dikdasmen & PNF PWM
Dosen Univesitas Muhammadiyah Pringsewu
Sumaterapost.co | Pringsewu – Hari ini, kita membuka lembar baru tahun ajaran 2025/2026. Sebuah awal bukan hanya untuk rutinitas belajar-mengajar, tetapi juga untuk membangun peradaban. Sekolah bukan sekadar tempat menghafal definisi atau mengisi lembar ujian. Ia adalah taman tempat tumbuhnya akal, rasa, dan jiwa. Maka, hari pertama ini bukan hanya tentang daftar hadir dan jadwal pelajaran, melainkan tentang menanam nilai, membangun makna, dan merawat kemanusiaan.
Anak-anak yang hadir di gerbang sekolah bukan sekadar peserta didik. Mereka adalah manusia utuh yang membawa harapan, rasa ingin tahu, kegelisahan, dan potensi tak terbatas. Tugas kita sebagai guru dan pimpinan sekolah adalah menyambut mereka bukan hanya dengan aturan, tetapi juga dengan kasih sayang; bukan hanya dengan target, tetapi juga dengan teladan.
Dengan semangat itu, marilah kita jadikan sekolah sebagai ruang yang membebaskan sekaligus membimbing. Tempat di mana anak merasa aman untuk bertanya, mencoba, bahkan keliru, sebab dari situlah tumbuh pembelajaran sejati. Jangan biarkan hari pertama menjadi awal dari tekanan, tetapi jadikan ia gerbang yang hangat bagi pertumbuhan akal, pembentukan karakter, dan penyuburan jiwa.
Pendidikan yang bermakna adalah yang mengalir dari hati ke hati, yang tidak hanya mengajarkan rumus dan hafalan, tapi juga menguatkan empati, keberanian, dan kesadaran akan tanggung jawab sebagai manusia. Pendidik harus berdampak bukan saja pada kemampuan akal, namun juga berdampak pada kemampuan emosional, religius dan sosial. Sehingga sekolah menjadi taman ilmu dan taman kemanusiaan sesungguhnya.
Pendidikan yang memanusiakan
Pendidikan yang memanusiakan adalah pendidikan yang mengakui bahwa setiap anak berbeda dalam cara berpikir, merasa, dan bertumbuh. Ia tidak memaksa semua anak menjadi seragam, tetapi membimbing mereka menemukan versi terbaik dari dirinya. Pendidikan semacam ini bukan hanya menguatkan akal, tapi juga menghidupkan rasa, membimbing karsa, dan mengasah budi pekerti.
Pendidikan yang memanusiakan menempatkan guru bukan sebagai pusat pengetahuan, melainkan sebagai fasilitator pertumbuhan jiwa dan akal anak didik. Guru hadir bukan untuk mendominasi, melainkan menemani proses pencarian makna dalam belajar. Dalam ruang kelas yang memanusiakan, tak ada murid yang merasa ditinggalkan karena perbedaan kemampuan. Justru keragaman dipandang sebagai kekayaan, bukan hambatan. Inilah pendidikan yang sejatinya membentuk manusia, bukan hanya pintar, tapi juga sadar, peduli, dan bertanggung jawab.
Sayangnya, sistem pendidikan sering kali terjebak dalam logika penyeragaman dan penilaian angka. Anak yang tidak sesuai standar dianggap gagal, padahal mungkin hanya berbeda cara tumbuhnya. Di sinilah pentingnya perubahan paradigma: dari sekadar mengajar untuk lulus, menjadi mendidik untuk tumbuh. Ki Hajar Dewantara pernah mengingatkan, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu.” Kutipan ini menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah yang memberi ruang bagi kodrat kemanusiaan anak, bukan mematikan keunikannya dengan sistem yang kaku dan seragam..
Islam mengajarkan bahwa setiap anak lahir dengan berbagai macam potensi, dan tugas pendidik adalah mengarahkan semua potensi yang berada pada indera dan hati mereka untuk menjadi pribadi bersyukur, bermanfaat dan mempesonakan kebaikan. Al-Qur’an menyampaikan pada surat An-Nahl: 78 “Dialah yang mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.”
Rasulullah SAW pun mengingatkan kita: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Dengan dasar ini, kita harus menjadikan pendidikan bukan sekadar menilai kecerdasan akademik, tetapi juga sebagai sarana untuk menumbuhkan kejujuran, kasih sayang, dan semangat berbagi yang tulus dari dalam diri setiap anak.
Pesan Dua Tokoh Pendidikan Indonesia
KH Ahmad Dahlan pernah berkata, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Pesan ini tidak hanya berlaku bagi gerakan organisasi, tetapi juga relevan dalam dunia pendidikan. Sekolah seharusnya bukan sekadar tempat mencari nafkah atau menjalankan rutinitas, melainkan ruang pengabdian untuk menghidupkan nilai-nilai keilmuan dan kemanusiaan. Ia harus menjadi ladang amal bagi para pendidik yang sadar bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah misi mulia yang tak boleh dicemari kepentingan sempit.
Pendidikan yang hidup bukan lahir dari sistem yang kaku, tetapi tumbuh dari semangat yang tulus dan cinta yang mendalam terhadap proses membimbing manusia. Ketika sekolah hanya dijadikan tempat bekerja tanpa ruh pengabdian, maka yang lahir adalah pendidikan yang kering makna. Sebaliknya, ketika guru dan pimpinan sekolah hadir dengan semangat pelayanan, keikhlasan, dan komitmen terhadap perubahan, maka sekolah menjadi taman pertumbuhan bagi akal, rasa, dan karakter anak-anak.
Senada dengan itu, Ki Hajar Dewantara mengajarkan falsafah pendidikan yang mendalam: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Artinya, di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi dorongan. Falsafah ini bukan sekadar semboyan, tetapi arah moral bagi setiap pendidik. Ia menekankan bahwa mendidik bukan tentang mendominasi atau mengontrol, melainkan tentang membimbing dengan empati dan keteladanan.
Di tengah arus pendidikan yang kadang terjebak pada formalitas, target, dan kepentingan administratif, pesan kedua tokoh bangsa ini harus kembali digaungkan. Sekolah yang berpihak pada murid adalah sekolah yang memerdekakan, bukan menekan. Pendidikan sejati tidak hanya menumbuhkan kecerdasan kognitif, tetapi juga membentuk integritas dan jiwa kemanusiaan. Di sinilah letak tantangan kita hari ini: berani menghidupkan kembali ruh pendidikan yang mencerdaskan dan memanusiakan.
Hari pertama sekolah harus menjadi momentum emas. Ia menjadi simbol bahwa perubahan besar dimulai dari hal kecil, dari cara kita menyapa siswa, mendengarkan suara mereka, menanggapi kesulitan mereka, dan memercayai potensi mereka. Perubahan dimulai bukan dari nilai yang besar, mudah diaturnya anak-anak, seminar besar atau kebijakan baru, tapi dari hati yang terbuka untuk benar-benar mendidik dengan cinta.
Selamat datang, anak-anak hebat. Mari kita jalani hari-hari ke depan bukan hanya untuk belajar, tapi untuk menjadi manusia yang lebih utuh. Bukan datang untuk memastikan angka yang tinggi, tapi memastika potensi diri mengalir dengan semestinya. Dan untuk para guru serta seluruh warga sekolah, mari kita buktikan bahwa pendidikan yang memanusiakan bukan sekadar ideal, tapi jalan yang mungkin kita wujudkan dimulai dari hari ini. Mari kita jadikan sekolah sebagai rumah besar bersama dan menjadi tempat mencerdas, membahagiakan dan memuliakan.




