Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro *)
Malam itu, Semarang seperti bernostalgia—bukan lewat lagu lama, melainkan dari bau arum manis yang membumbung pelan, dari dengung lagu anak-anak di layar video tron dan ada mobil odong-odong di tengah ruagan teronggok, dari cahaya lampu kelap-kelip yang menari-nari di dinding galeri tua.
Di tangan Krack! Studio Yogyakarta dan Semarang Contemporary Art Gallery, kota ini kembali ke masa ketika malam bukan sekadar gelap, melainkan ruang yang menampung tawa, ketakutan, dan ingatan kolektif.
Pameran “Pasar Malam” bukanlah pameran biasa. Ia seperti ritual baru yang menggali pasar malam bukan dari sisi gemerlapnya, tetapi dari rahim mistik dan pori-pori rakyat yang terlupakan. Di tengah ruang yang biasa dipakai memajang lukisan dalam hening, malam itu Semarang Gallery menjelma seperti cembrengan tua, seperti dugderan yang menandai jelang lebaran, musim giling dan panen raya—penuh hiruk, warna, dan aroma masa lalu.
Begitu melewati gerbang galeri, pengunjung seakan menyeberang ke dunia lain. Bendera kecil menggantung di langit-langit, suara wahana terdengar samar, dan wangi minyak goreng mengendap di udara. Sebuah soundscape yang dibangun dengan cermat—gugus suara yang bukan sekadar latar, tapi pembuka suasana.
Lalu berdiri karya-karya itu: cetakan saring raksasa, selebar dua meter, menjulang seperti layar tancap di lapangan kampung. Namun, tak ada kisah cinta remaja atau superhero yang disajikan. Yang tampil adalah wajah-wajah ganjil, tubuh-tubuh cacat, jimat-jimat dengan teks mantra, dan dunia gelap yang lebih dekat pada mimpi buruk ketimbang kenyataan. Sebuah lanskap batin yang dalam dan samar—seperti kenangan masa kecil yang terpotong-potong.
“Pasar malam adalah dunia kebalikan dari pasar pagi,” ujar Chris Dharmawan, pemilik galeri, dalam sambutannya. “Tempat ketakutan dan hasrat kita dibiarkan berkeliaran tanpa sensor. Di sana, jam tangan palsu dan jimat asli duduk berdampingan, belalang goreng dan rumah hantu jadi teman sepermainan.”
Sebanyak lima belas seniman dari Indonesia dan Australia menyumbangkan karya mereka dalam kolaborasi ini. Ada nama-nama seperti Ipeh Nur, Tamarra, Jumaadi, Prihatmoko Moki, Restu Ratnaningtyas, hingga Leyla Stevens dan Ida Lawrence dari Australia. Mereka tidak sekadar menggambar ulang suasana pasar malam, tapi membedah tubuh dan jiwanya.
Mereka mengangkat keliyanan sebagai tema utama—rasa asing, ganjil, tapi memikat. Malcolm dari Krack! Studio menyebutnya sebagai ruang liminal: “Antara hiburan dan horor, antara sakral dan profan, antara populer dan terpinggirkan.”
Karya-karya itu pun menjelma sebagai jendela ke wilayah gelap yang selama ini luput. Dalam satu karya, topeng-topeng tanpa wajah digantung pada pagar seperti boneka mati yang menunggu jiwa. Di sisi lain, figur perempuan digambarkan tengah menjual jimat sambil menyanyikan lagu anak-anak. Kekacauan simbolik ini menciptakan efek visual yang menyergap, seperti berdiri di depan panggung wayang tapi tanpa dalang—hanya suara dan bayangan yang saling bertabrakan.
Pameran ini sebelumnya sukses digelar di Yogyakarta, dan akan melanjutkan tur ke kota-kota di Australia pada 2026 hingga 2027. Tapi di Semarang, ia menetap hingga 17 Agustus 2025—cukup waktu untuk menjadi semacam perenungan kolektif: tentang hiburan rakyat, tentang ruang gelap yang memeluk kekacauan, dan tentang seni sebagai jendela rahasia kehidupan.
Seni di sini bukan hanya tontonan. Ia adalah peristiwa. Ia adalah cermin buram di mana kita memandang kembali ketakutan dan kelucuan kita sendiri. “Pasar malam adalah cara masyarakat menertawakan hidup, menakuti dirinya sendiri, sekaligus mencari hiburan dalam keterbatasan,” ujar seorang pengunjung, sembari menatap lekat karya Ipeh Nur yang memadukan ikon pop dengan kutukan-kutukan Jawa Kuno.
Dan malam itu, dua perempuan beranjak lansia masuk perlahan ke ruang pameran. Di tangannya, gulungan arum manis dalam plastik bening yang mereka putar-putar seolah tak ingin cepat habis. Wajah mereka berbinar, seperti bocah yang baru pulang dari pasar malam di dusun. Ada tawa kecil, ada tatapan panjang. Di tengah layar-layar cetak dan aroma nostalgia, mereka menggenggam kembali sesuatu yang pernah hilang—masa kecil, rasa ingin tahu, atau mungkin kenangan akan gelap yang dulu tak pernah menakutkan.
Semarang malam itu mendengarkan kisah yang tak pernah selesai diceritakan. Dan mungkin itulah sihir sejati dari Pasar Malam—ia datang bukan untuk menjelaskan, melainkan untuk membiarkan kita merasa. Dalam diam. Dalam terang yang tak selalu putih. Dalam gulita yang menghangatkan.
Semarang, 20 Juli 2025
*) Jurnalis, tukang tulis dan motret penyuka dunia seni rupa dan tradisi. Tinggal di Tembalang, Semarang.