Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro *)
Semarang, Minggu, 27 Juli 2025 — Di pagi yang masih basah oleh embun dan gemetar suara tambur, langit Semarang pelan-pelan membuka kelopaknya. Barongsai melenting. Liong menjalar. Tandu-tandu para Dewa digotong di antara kepulan dupa dan bunga yang gugur. Namun dari semua gegap budaya, satu barisan tampak tak biasa: sekelompok manusia berseragam kuning menyala, memegang sapu lidi, berjalan tenang namun pasti di barisan awal arak-arakan Cheng Ho. Mereka bukan pengawal. Bukan pasukan perang. Tapi mereka disebut Pasukan Sapu Jagad.
Sebuah nama yang sederhana, namun sarat makna.
Seragam Kuning, Sapu Lidi, dan Filosofi Jagad
Tak ada jubah kebesaran, tak ada pedang atau tombak. Yang ada hanya kaos kuning bertuliskan “Marimas Rasa Lebih Mantab”, sapu lidi di tangan kanan, dan senyum yang tulus di wajah mereka. Namun justru di situlah letak kekuatannya. Pasukan ini tak datang membawa kekuasaan, melainkan niat: membersihkan jalan yang akan dilalui sang pelaut agung, Sam Poo Tay Djien—lebih dikenal dengan nama Laksamana Cheng Ho—dalam bentuk patung Kimsin yang diarak dari Klenteng Tay Kak Sie menuju Sam Poo Kong.
Di sepanjang rute yang membentang dari Gang Lombok, Kranggan, Jalan Pemuda, hingga Simongan, langkah mereka seperti doa yang diayunkan. Setiap sapuan adalah bentuk pengabdian. “Sapu” dan “Jagad”—dua kata sederhana yang jika dirangkai menjadi simbol agung: pembersih semesta. “Kami membersihkan jalan, tapi yang kami jernihkan adalah batin,” ujar Harjanto Halim, pemimpin pasukan ini, sambil mengibaskan kipasnya bak pendekar dari utara.
Harjanto Halim: Dari Pengusaha ke Komandan Spiritual
Nama Harjanto Halim tak asing di dunia usaha dan kebudayaan. CEO PT Marimas Putra Kencana ini juga Ketua Perkumpulan Sosial dan Budaya Boen Hian Tong. Tapi pagi itu, ia bukan seorang eksekutif—melainkan komandan spiritual. Ia memimpin langsung barisan kuning, bukan dari belakang meja, tapi dari depan barisan, dengan sapu lidi di tangan, dan tekad di dada.
“Inilah cara kami merayakan Cheng Ho,” ucapnya lirih, di tengah teriknya mentari yang mulai meninggi. “Kami tak sekadar menonton, kami membersamai. Kami tidak hanya memperingati sejarah, tapi menghidupkan nilainya.”
Dari seratusan Orang Lintas Etnis: Pembersih yang Menyatukan
Pasukan Sapu Jagad tahun ini melibatkan seratusan orang dari lintas usia, etnis, dan agama. Di barisan depan, tokoh-tokoh punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—berjalan lincah, menyapa penonton, menyatukan antara humor, kearifan lokal, dan spiritualitas universal. Di belakangnya, barisan pasukan berjalan perlahan tapi mantap, menyapu sampah-sampah yang jatuh selama prosesi berlangsung.
Tak ada seleksi ketat. Yang dibutuhkan hanya keinginan untuk menjadi bagian dari gerakan ini. Sebab lebih dari sekadar kerja fisik, Sapu Jagad adalah kerja jiwa. Mereka membersihkan bukan karena diperintah, tapi karena merasa perlu. Karena menyapu bukan hanya pekerjaan, tapi doa.
Membuka Jalan, Menata Batin
Ritual arak-arakan Cheng Ho memang meriah. Patung-patung Dewa, barongsai, liong, hingga tambur memeriahkan jalanan. Ribuan warga tumpah ruah di sepanjang rute. Tapi di balik gemerlap itu, ada kerja diam-diam yang nyaris tak terdengar: sapuan demi sapuan Pasukan Sapu Jagad yang membuka jalan bagi yang suci.
“Membersihkan jalan adalah tugas sederhana. Tapi membersihkan dengan penuh cinta, itu yang membuatnya sakral,” kata Henny anggota pasukan, seorang ibu paruh baya dari kampung di kawan Mataram.
Ritual yang Tak Hanya Sakral, Tapi Relevan
Di zaman yang semakin gaduh, penuh amarah dan ketidakpedulian, Pasukan Sapu Jagad justru datang membawa pesan yang sangat relevan: membersihkan. Tidak hanya jalanan kota, tapi juga ruang-ruang dalam jiwa manusia. Membersihkan ego, prasangka, dan sampah-sampah batin yang membuat kita buta akan makna kehidupan.
Pasukan ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara warisan spiritual dan praktik sosial, antara upacara dan tindakan nyata.
Sapu, Jalan, dan Jagat yang Perlu Dijernihkan
Arak-arakan Cheng Ho telah berakhir. Tandu-tandu kembali ke altar. Barongsai berhenti menari. Bunga-bunga telah gugur. Tapi sapuan Pasukan Sapu Jagad akan tetap tinggal dalam ingatan.
Dalam sebuah dunia yang sedang porak-poranda, kita membutuhkan lebih banyak orang seperti mereka: yang tidak silau oleh sorotan, yang tak butuh panggung, yang cukup bahagia dengan menyapu jalan dan merawat semesta.
Sebab dunia ini, pada akhirnya, akan lebih bersih jika lebih banyak orang memilih sapu lidi—daripada pedang.
*) Jurnalis, tukang tulis dan motret penyuka tradisi dan kearifan lokal tinggal di Tembalang, Semarang.




