Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis dan pengamat senirupa
Di senja yang menguning, ketika angin Way Halim menyapu lembut daun-daun trembesi di pelataran PKOR, ruang pamer Dewan Kesenian Lampung berubah menjadi ruang batin. Rabu sore, 30 Juli 2025, bukan sekadar titik waktu—ia adalah sebentuk kesadaran yang hendak menyentuh kembali akar-akar seni rupa Lampung yang selama ini terasa seperti batang tarandam: diam, tenggelam, namun sejatinya hidup, menunggu waktu untuk bangkit.
Sarasehan bertajuk “Pamer Pamor” menjadi cermin sekaligus kompas. Digelar oleh Komite Seni Rupa DKL dan dihadiri oleh lebih dari 40 perupa dari berbagai penjuru provinsi, pertemuan ini bukan perhelatan biasa. Ia menjadi titik balik, semacam panggilan dari dalam tanah kreatif Lampung yang selama ini tertidur di bawah lapisan waktu, arus pasar, dan keengganan sistemik.
David, sang kurator, memulai dengan pengantar yang lebih mirip puisi panjang ketimbang kuliah seni. Ia menegaskan bahwa “Pamer Pamor” bukan sekadar ruang pamer, tetapi adalah medan tafsir atas keberanian—berani tampil beda, berani tidak indah dalam makna konvensional, berani melawan arus estetika pasar, dan yang terpenting: berani menjadi diri sendiri sebagai seniman Lampung.
“Indah belum tentu indah, tidak indah belum tentu tidak indah,” katanya, membalik-balik persepsi seperti daun-daun kering yang beterbangan, mencari akar dari seni rupa yang hakiki. Karya seni, baginya, bukan produk yang harus menyenangkan semua orang, melainkan pancaran paling jujur dari kegelisahan personal yang diolah menjadi bentuk, warna, corak dan konsep.
Lalu datang Irawan Karseno, mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta, alumni FSRD ITB, membawa napas panjang pengalaman dan pengamatan dari belantara seni nasional. Ia melihat potensi besar yang tersembunyi di balik kelokalan Lampung: budaya, motif, isu-isu sosial yang khas, semua bisa menjadi narasi visual yang menggerakkan. Bukan hanya bagi pasar, tapi juga bagi wacana.
“Kalau Lampung ingin punya event sebesar ArtJog, jangan jadi ArtJog Lampung. Jadilah Art Lampung. Beri ruang pada yang khas, yang tak bisa ditemukan di tempat lain,” ujarnya, seperti menggambar peta harapan di dinding benak para perupa muda yang hadir.
Namun membangkitkan seni rupa Lampung bukan hanya tugas DKL. Ini adalah kerja besar membangun ekosistem—jaringan hidup yang menghubungkan seniman, kurator, akademisi, kolektor, kritikus, ruang pamer, media, dan pemerintah. Ekosistem itu tak boleh hanya hidup di ruang elit kota, tapi menjalar ke kampung-kampung tempat ide-ide segar lahir dari tanah yang sunyi.
Karena seni rupa tak bisa tumbuh dari udara hampa. Ia butuh udara lembap dari diskusi yang hangat, cahaya matahari dari ruang-ruang presentasi, dan air dari apresiasi publik. Sarasehan ini mungkin hanya setetes dari semua itu, tapi ia adalah tetes yang tahu ke mana harus jatuh.
Ketua Komite Seni Rupa DKL, Ch. Sapto Wibowo, menyampaikan bahwa pameran “Pamer Pamor” nantinya akan memajang 40 karya dengan ukuran minimal 80 x 80 cm. Ini bukan angka, tapi isyarat: ruang sudah dibuka, tinggal siapa yang berani mengisi.
Di ujung senja, ketika lampu-lampu galeri menyala pelan dan suara obrolan mulai merendah, satu pertanyaan menggantung di udara:
Apakah kita siap melihat batang tarandam itu benar-benar muncul ke permukaan—dengan pamor, dengan sikap, dengan keberanian menjadi Lampung yang otentik?
Waktu akan menjawab. Tapi satu hal pasti: akar itu sudah mulai bergerak.(*)




