Semarang — Malam itu, GKI Karangsaru Semarang bukan sekadar ruang ibadah. Ia berubah menjadi altar kebangsaan, tempat keberagaman menjadi harmoni dan perbedaan merajut simpul-simpul persaudaraan. Pasalnya, Jumat (01/08/2025) di GKI Karangsaru, Semarang, bakal digelar helat akbar Konser Kebangsaan bertajuk : “Harmoni Gita Anak Bangsa”.
Acara Harmoni Gita Anak Bangsa yang digagas kolaboratif oleh Persaudaraan Lintas Agama (Pelita), EIN Institute, Klub Merby, EduHouse, dan Rotary Club of Semarang Bimasena, bekerja sama dengan GKI Karangsaru adalah buktinya hidupnya semangat keberagaan dan toleransi di Kota Semarang,
Hal itu diungkapkan Ellen Nugroho, Direktur Eksekutif EIN Institute. Ditegaskannya gelaran konser Harmoni Gita Anak Bangsa ini bukan sekadar acara, ini adalah cermin cita-cita Indonesia merdeka. Ellen mengingatkan bahwa 80 tahun setelah Proklamasi, pekerjaan rumah bangsa ini masih banyak—terutama dalam mengikis sekat-sekat sosial yang memecah belah.
Sekitar lima ratus orang bakal memenuhi ruang gereja dengan pakaian khas kepercayaan mereka masing-masing. Ada yang berjilbab, berjubah bhikkhu, berkerudung biarawati Katolik, berbusana rohaniwan Konghucu, hingga penghayat kepercayaan dengan kebaya dan ikat kepala. Inilah Indonesia dalam wajah terbaiknya—penuh warna, namun satu dalam lagu.
Dalam acara bertajuk “Harmoni Gita Anak Bangsa”, umat lintas agama dan kepercayaan duduk berdampingan, menyanyikan lagu-lagu kebangsaan dengan hati yang penuh cinta. Lagu-lagu seperti Indonesia Raya, Maju Tak Gentar, Rayuan Pulau Kelapa, dan Syukur mengalun bukan sekadar sebagai gubahan patriotik, tetapi sebagai doa bersama bagi bangsa yang masih terus berjuang menjadi rumah bagi semua.
Mengiringi lagu-lagu tersebut, sebuah orgel pipa buatan anak-anak muda Semarang berdenting megah. Terbuat dari lebih seribu pipa kayu dan bambu, alat musik ini menjadi satu-satunya organ pipa aktif di Kota Semarang. Diiringi pula oleh kolintang dan terompet, serta momen yang menggetarkan ketika seluruh hadirin memainkan angklung bersama—malam itu, suara menjadi jembatan jiwa.
Di sela lagu, bakal hadir puisi-puisi reflektif dari tokoh lintas iman: Gus Fadel Irawan, Bhikkhu Ditthisampano, Ws. Andi Gunawan, Sr. Yulia SDP, dr. Komang Dipta, Samuel Wattimena, dan Ruwiyati dari kalangan penghayat. Kata-kata mereka menjelma pelita yang menembus kabut prasangka dan sekat-sekat identitas.
Tak hanya tokoh agama, hadir pula tiga anak muda Semarang yang telah memberikan warna pada Indonesia: Falasifah, inovator bioteknologi; Reza Kurniawan, pejuang hak disabilitas; dan Gemma Tedjokusumo, penggerak ruang kreatif.
Malam itu, mereka membuktikan bahwa generasi muda bukan hanya penerus, tapi juga penentu arah bangsa.
Dalam balutan suara emas dr. Edward Tirtananda dan Marsha Marianne, musik benar-benar menjadi bahasa universal. Ia tak bertanya agama, suku, atau keyakinan. Ia hanya meminta kejujuran, rasa, dan hati yang terbuka.
Setyawan Budy dari Pelita mengatakan bahwa masyarakat butuh ruang-ruang yang lebih jujur dan menyentuh. “Bukan slogan, bukan seremoni. Tapi ruang di mana kita bisa hadir sebagai manusia,” katanya.
Sementara Linggayani Soentoro, Presiden Rotary Club of Semarang Bimasena, menekankan pilihan musik sebagai medium utama. “Musik punya daya menyentuh nurani. Ia menyatukan, bukan memisahkan,” ujarnya.
Tak kalah penting, Krisna Phiyastika dari Klub Merby dan Pendeta Angga Prasetya menekankan bahwa orgel bambu yang mengiringi acara adalah wujud lain dari cinta tanah air—hasil tangan anak bangsa, simbol kolaborasi lintas generasi.
“Harmoni Gita Anak Bangsa” adalah lebih dari sekadar konser. Ia adalah ziarah batin menuju cita-cita Indonesia yang damai, adil, dan setara.
“Harmoni Gita Anak Bangsa adalah bukti bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekuatan. Dan dari Semarang, gema kebangsaan itu melesat ke seluruh penjuru negeri,” tandas Krisna Priyastika semangat. (Christian Saputro)




