Semarang, 31 Juli 2025 — Malam belum sempurna menggantungkan bintangnya di langit, namun Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) telah menggema oleh langkah-langkah peziarah budaya.
Mereka tak hanya datang untuk menyaksikan pertunjukan, tetapi untuk menunaikan sebuah janji yang diwariskan: menjaga nyala api warisan, dalam bentuk wayang, dalam wujud penghormatan kepada sang empu panggung, Maston Lingkar.
Dibuka dengan sambutan hangat dari Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Sarosa—yang hadir mewakili Kepala Disbudpar—pagelaran malam ini menjadi ruang tak hanya bagi seni, tetapi juga doa dan kenangan.
Dalam ucapannya, Sarosa mengungkapkan rasa hormat dan apresiasi yang mendalam terhadap Teater Lingkar, yang telah dengan tekun menggelar wayang malam Jumat Kliwonan hingga memasuki episode ke-329.
“Kami berharap dari APBD Perubahan nanti, kegiatan budaya seperti ini bisa terus mendapat ruang dan napas untuk berkelanjutan. Karena dari sinilah kebudayaan kita bertumbuh,” ucapnya dengan haru.
Sebelumnya, suasana penuh khidmat saat Sindhunata Gesit Widharto—putra almarhum Maston Lingkar—mewakili Teater Lingkar memberikan ungkapan terima kasih. Dengan mata berkabut kenangan dan suara yang tertahan oleh rasa kehilangan, ia menuturkan harapannya agar semangat yang diwariskan sang ayah bisa terus dijaga.
“Kami kirim doa bersama malam ini agar beliau damai di sisi-Nya. Kami berikhtiar meneruskan apa yang beliau perjuangkan: panggung sebagai tempat tumbuhnya keindahan dan kesadaran,” ujar Sindhu, sebelum memimpin doa di hadapan hadirin.
Dalam prosesi simbolik, Sarosa menyerahkan tokoh wayang kepada Sindhu, yang kemudian diberikan kepada Ki Dalang Bremara Sekar Wangsa—dalang muda penuh talenta—sebagai bentuk estafet nilai dan kepercayaan. Malam itu, lakon “Banjaran Boma Narakasura” pun mengalir dari kelir ke ruang batin penonton.
Boma Narakasura: Kisah Anak, Kuasa, dan Kesadaran
Diangkat dari kisah epik, lakon ini bukan sekadar cerita tentang pertarungan. Ini adalah narasi getir tentang seorang anak yang tumbuh besar tanpa mengenali ayahnya, tersesat dalam kemegahan kekuasaan, hingga harus roboh dalam peperangan demi menyadari kebenaran hakikinya. Ia, Boma, adalah anak dari Kresna—inkarnasi Dewa Wisnu—yang justru menjadi lawan takdirnya.
Pertunjukan ini menjadi cermin. Tentang bagaimana manusia, dalam kuasa dan egonya, sering luput mengenali asal-usul dan jati dirinya sendiri. Tragedi Boma adalah tragedi banyak dari kita.
Ki Bremara Sekar Wangsa: Warna Baru dari Pedalangan Semarang
Dalang muda asal Semarang ini bukan hanya menggerakkan wayang, tapi menggugah perasaan. Dalam setiap sabetan dan sulukan, ia menghidupkan tokoh dengan jiwa yang nyaris nyata. Bremara dikenal dengan pendekatan artistik yang puitis dan menyentuh, meramu unsur klasik dengan bahasa zaman yang baru.
Latar keluarganya yang sarat dengan seni karawitan dan teater Jawa menjadikan tiap penampilannya semacam upacara rasa—dalam, reflektif, dan penuh daya tafsir. Dalam Banjaran Boma Narakasura, ia tak hanya mementaskan lakon, tapi memahatkan makna di ruang imajinasi hadirin.
Malam yang Menjadi Makna
Malam Jumat Kliwon ini bukan hanya ritus berkesenian, tapi juga semacam ritual kolektif: mengenang, mendoakan, dan meneruskan. 40 hari sudah Maston Lingkar berpulang, namun jiwanya masih menari-nari di balik layar, menyelinap di tiap gamelan, menyusup di tiap sabda dalang.
Teater Lingkar dan Disbudpar Semarang, bersama Ki Bremara dan para pecinta seni, telah menjadikan panggung ini bukan sekadar tempat pertunjukan—melainkan altar penghormatan dan penyambung warisan. (Christian Saputro)




