Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis, pemerhati budaya
Pada pagi yang basah oleh embun akhir Juli, langit Bandar Lampung berselimut awan ringan seolah turut menanti hadirnya percakapan-percakapan penting tentang jati diri. Di Hotel Hexton, Bandar Lampung, suara langkah kaki dan tawa pelan bersahut-sahutan di lorong ruang pertemuan. Mereka datang bukan hanya membawa nama institusi, melainkan juga keresahan, harapan, dan secercah cahaya bagi seni dan budaya yang kian tertatih di tengah zaman yang melaju terlalu cepat.
Temu Wacana Dewan Kesenian se-Provinsi Lampung 2025 bukan sekadar forum, melainkan sebuah ritual kebudayaan—tempat di mana wacana bukan hanya dibahas, tapi juga dihayati. Di ruang ini, kesenian kembali dijadikan nyawa yang perlu disegarkan, bukan sekadar ornamen yang dipajang saat perayaan.
Acara dibuka oleh Prof. Dr. Satria Bangsawan, Ketua Dewan Kesenian Lampung, yang dengan penuh keyakinan menyampaikan harapan: agar DKL tidak lagi diposisikan sebagai pelengkap penderita, melainkan sebagai mitra strategis yang mengisi denyut kebudayaan daerah. “Mudah-mudahan DKL dapat menjadi katalisator pergerakan seni dan budaya yang lebih terstruktur dan membumi,” ujarnya.
Suasana menjadi lebih hangat saat Drs. Firsada, M.Si., mewakili Gubernur Lampung, mengambil mikrofon. Ia menekankan bahwa kebijakan seni tak bisa hanya datang dari atas. Harus ada sinergi, harus ada suara dari bawah. Ia seakan membuka ruang: untuk mendengar, bukan hanya bicara.
Lalu forum mengalir dalam tiga sesi diskusi. Restu Gunawan dari Kementerian Kebudayaan membuka sesi pertama dengan tegas namun lembut. Ia menyuarakan perlunya reposisi Dewan Kesenian sebagai kurator—penjaga nilai, bukan sekadar penyelenggara acara. Ia mengajak hadirin melihat DKL sebagai rumah yang tak hanya menaungi, tapi juga membina dan menyaring.
Sesi kedua memunculkan intensitas. Deni Ribowo, anggota Komisi V DPRD, dan Iwan Nurdaya Djafar, budayawan sekaligus Sekretaris Akademi Lampung, bicara dengan nada yang bukan saja bernas, tapi juga emosional. Mereka tidak hanya membahas, tapi seolah menagih: mana peta jalan, mana dukungan legislasi, mana komitmen politik untuk ekosistem seni yang berkeadilan?
Iwan Nurdaya Djafar, dalam makalahnya, membawa hadirin masuk ke pusaran realitas global yang menyesakkan. Ia menyebut globalisasi sebagai “kolonialisme baru yang datang dengan senyum dan layar sentuh.” Seni tradisional yang dahulu hadir dalam irama gamolan dan motif tapis, kini terancam sirna—terhimpit antara algoritma dan perubahan selera pasar. Namun Iwan bukan pesimis. Ia justru memanggil semangat adaptasi. Ia percaya, bahwa dalam gempuran digital, justru di situlah seni bisa bangkit kembali. Museum virtual, aplikasi budaya, panggung daring—semua itu bukan ancaman, melainkan perahu baru untuk menyeberangi zaman.
“Yang penting,” katanya pelan namun tajam, “digitalisasi tidak boleh menghilangkan ruh tradisi.”
Sesi ketiga ditutup dengan gagasan visioner dari Irawan Karseno, Ketua Koalisi Seni. Dengan getir namun jelas, ia mengingatkan bahwa Dewan Kesenian tidak boleh jadi milik sekelompok seniman semata. Ia harus menjadi ruang kolektif, dihuni oleh pemikir ekonomi, pegiat hukum, dan ahli kebijakan publik. “Seni harus bisa duduk dalam rapat anggaran, bukan hanya tampil di panggung,” tegasnya, mengundang tepuk tangan panjang.
Sore menjelang petang, langkah-langkah perlahan meninggalkan ruang diskusi, namun di meja utama, sebuah penandatanganan simbolis dilakukan: Maklumat Bersama Dewan Kesenian se-Lampung. Sebuah dokumen, bukan sekadar kertas, melainkan janji dan tekad bersama: memperkuat posisi, menguatkan jejaring, dan menyuarakan seni sebagai bagian dari strategi pembangunan.
Bagus S. Pribadi, Sekretaris Umum DKL, menutup forum dengan harapan yang tak basa-basi. “Kita tidak ingin berhenti di forum ini. Kita ingin kerja nyata. Kolaborasi. Kebijakan yang benar-benar turun ke lapangan.”
Sementara itu, Deni Ribowo menyambut hangat rencana audiensi dengan DPRD dan Gubernur. Sebuah langkah konkret, kata dia, untuk membuka diskusi lebih dalam soal pemajuan kebudayaan di tanah yang dikenal sebagai Sang Bumi Ruwai Jurai.
Temu Wacana ini bukan hanya forum, ia adalah napas baru. Sebuah pengingat bahwa di tengah hiruk-pikuk politik dan ekonomi, ada warisan yang tak boleh luput: seni yang menyimpan jiwa, budaya yang menjadi akar. Di tangan para pegiatnya, harapan itu kembali ditenun. Perlahan, namun pasti.
Lampung sedang menulis kembali kisahnya—bukan dengan tinta biasa, tapi dengan warna-warni tradisi yang kini menjelma jadi strategi masa depan. (*)