SEMARANG, 1 Agustus 2025 — Rumah Mataram 360, bangunan heritage bergaya kuno di Jl. MT Haryono, Semarang, sore itu terasa hangat—bukan hanya karena sinar matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat, tapi juga karena gelombang emosi yang mengalir dari ruang pameran ke relung hati para tamu yang hadir. Tepat di hari yang sama, setahun setelah kepergian ibunya, perupa Rahel Yosi Ritonga membuka pameran tunggal bertajuk “Ibu: Cinta, Pengorbanan, Pengaruh, dan Kehilangan”.
Pameran ini dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, R Wing Wiyarso Poespojoedjo, yang dalam sambutannya menyampaikan apresiasi mendalam atas inisiatif Yosi dalam menghadirkan karya yang begitu personal, sekaligus universal.
“Semarang ini bukan lagi kuburan seni,” tegasnya. “Dengan semangat yang ditunjukkan para seniman muda seperti Yosi, Semarang kini adalah ladang subur untuk seni dan budaya. Pemerintah kota akan terus membuka ruang bagi siapa saja yang ingin berkarya dan bersinergi.” Wiyarso Semangat.
Wiyarso juga menekankan bahwa talenta seni di Semarang terus bertumbuh dan semakin berani menampilkan karya tunggalnya. Ia berjanji akan memfasilitasi lebih banyak ruang untuk seniman lokal agar mampu menunjukkan jati diri mereka, tidak hanya di kancah nasional, tapi juga dunia.
Acara ini juga dihadiri oleh anggota DPRD Kota Semarang, Melly Pangestu, serta ratusan tamu undangan yang memenuhi Galeri 360 hingga ke pelataran. Atmosfernya bukan hanya formal, tapi sarat emosi dan kekeluargaan.
Rumah, Ibu, dan Jejak Duka yang Menjadi Karya
Dalam sambutannya, Dr. Widjajanti Dharmowijono, selaku ketua pelaksana sekaligus pemilik Galeri 360, mengungkapkan bahwa pameran ini memiliki makna sangat dalam, bukan hanya bagi Yosi, tetapi juga bagi semua yang pernah merasakan cinta dan kehilangan sosok ibu.
“Rumah ini telah menjadi saksi banyak pameran, tapi tak pernah seintim dan sepersonal ini,” katanya. “Satu tahun lalu, ibu dari Yosi meninggal dunia. Dan hari ini, kita tidak hanya melihat karya seni, kita sedang menyaksikan sebuah ziarah batin.”
Kurator pameran, Gita Listiyani Raharjo, menyampaikan sambutannya melalui VT dari Sydney. Ia menyatakan bahwa pameran ini adalah bentuk ritual kontemporer dalam menghadapi transisi kehidupan—kelahiran, kehilangan, kedewasaan, dan peran sebagai seorang ibu.
“Saya tidak bisa melewatkan kesempatan ini. Saya bekerja dengan ibu saya sendiri, dari tempat saya lahir. Dan pameran ini adalah cermin dari bagaimana kita memaknai ibu—sebagai kenyataan, simbol, dan perasaan,” ujar Gita dalam video yang penuh kelembutan.
Suara Seniman: Kesedihan yang Menemukan Tujuannya
Dengan mata berkaca, Yosi menyampaikan sambutan yang menggugah. Ia bercerita bagaimana kehilangan ibunya telah mengubah segalanya, dan bagaimana seni menjadi pelampung yang membawanya kembali ke permukaan.
“Hari ini, tepat satu tahun Mama pergi,” ucapnya. “Saat itu rasanya seperti kehilangan separuh jiwa saya. Tapi dalam kesedihan, saya menemukan tujuan: untuk mengenang, menghargai, dan mempersembahkan cinta kepada semua ibu melalui karya seni.”
Dalam karyanya, Yosi banyak menampilkan simbol-simbol keibuan: buket bunga yang tersusun dari emosi, kamar mandi yang bersih sebagai bentuk penghormatan atas kerja tak terlihat, hingga siluet binatang sebagai representasi kasih sayang dan pengorbanan diam-diam yang sering dilakukan ibu.
“Ibu itu seperti superhero,” ujarnya sambil tersenyum. “Dan yang paling bisa menghibur seorang ibu adalah keberadaan anak-anaknya.”
Yosi juga mengucapkan terima kasih kepada para sponsor, kurator, tim teknis, sahabat, suami, dan tentu saja, kepada mendiang ibunya. Ia menyebut pameran ini sebagai “ziarah seni” dan mengundang semua yang hadir untuk menjadikannya ruang refleksi akan pengalaman pribadi masing-masing dengan sosok ibu.
Lebih dari Sekadar Pameran
Pameran ini bukan hanya soal seni rupa. Di dalamnya, terdapat lima sesi talkshow yang membahas tema perempuan, keluarga, kehilangan, dan proses kreatif. Galeri 360, selama beberapa hari ke depan, akan menjadi ruang kontemplatif tempat pengunjung diajak menyelami cinta dan duka, serta merayakan ibu sebagai sosok yang seringkali luput dari perhatian harian kita.
Rahel Yosi Ritonga tidak hanya menyampaikan karya, tetapi menyampaikan jiwa. Ia mengajak semua orang untuk mengingat ibu, tidak dengan tangis, tetapi dengan penghormatan yang tulus dan penuh warna. (Christian Saputro)




