Di balik tembok kota,
tulang lunak tak pernah patah—
ia melengkung, menari, memeluk luka
seperti bandeng Juwana di piring rakyat.
Dua dekade, langkah sunyi menyusun suara
pada lorong-lorong yang dulu ditinggalkan
kini jadi panggung, jadi mural,
jadi perlawanan yang penuh warna.
Kami tak lahir dari aula gemerlap,
tapi dari peluh jalanan dan retak trotoar.
Dan hari ini, kami bukan tamu
tapi tuan rumah bagi mimpimu yang nyaris hilang.
Hysteria—bukan hanya nama,
ia nyanyian kota,
yang tak bisa dibungkam
meski malam semakin senyap.
Petang di Sleko, Semarang, tanggal 2 Agustus 2025, adalah petang yang tak biasa. Di antara cagar budaya Menara Syahbandar yang berdiri menantang waktu, segerombolan anak muda berarak dari berbagai penjuru kota. Mereka tak sekadar datang. Mereka pulang—ke rumah semangat yang telah mereka rawat selama dua puluh tahun: Kolektif Hysteria.
Langit jingga itu seperti kanvas yang menyimpan jutaan jejak langkah seniman jalanan, pelaku budaya, dan pencinta kota. Dan Penta K Labs V bukan sekadar festival. Ia adalah semacam mantra yang menghidupkan kota—menghadirkan wajah Semarang yang tak ditampilkan dalam brosur pariwisata: wajah dengan luka, dengan tawa, dengan puisi yang ditulis di tembok-tembok kota.
Tulang Lunak Bandeng Juwana, tajuk yang tampak ringan namun mengandung filosofi dalam. Ia berbicara tentang kelenturan dalam tekanan, tentang bagaimana sesuatu yang tampak lembut menyimpan daya tahan luar biasa. Layaknya Kolektif Hysteria yang lahir dari kegelisahan, bertumbuh di sela-sela birokrasi, dan kini menjelma jadi simpul budaya alternatif yang menolak tenggelam.
Malam itu, suara gitar Beverli dan Loon menyapa semesta. Lalu datang Figura Renata, menyisipkan resonansi yang menggugah dada. Namun yang paling membekas adalah suara serak tapi penuh keyakinan milik Adin, Direktur Hysteria, yang menyentuh ruang kenangan dua dekade.
“Dulu kami berdiri di luar pagar. Hari ini kami duduk berdampingan,” ujarnya lirih tapi lantang. Kata-kata itu melampaui pidato. Ia adalah puisi yang dibentuk dari pengalaman kolektif.
Di sinilah DITAMPART lahir—sebuah perlawanan yang dibungkus sistem, sindiran yang menjelma struktur. Ia bukan sekadar nama, melainkan metode bertahan dan mencipta, alat yang memungkinkan lorong sempit jadi panggung terbuka. DITAMPART adalah laboratorium ruang, tempat mimpi dibiakkan tanpa takut dipangkas formalitas.
Penta K Labs V juga membuka ruang bagi mural berbicara. City Kanvas bukan sekadar lomba lukis dinding. Ia adalah ruang curhat kota: di mana warna bersuara, dan garis mencipta makna. Setiap goresan adalah pertanyaan terbuka bagi penguasa, sekaligus pengingat bahwa kota tak hanya milik mereka yang punya kuasa, tapi juga mereka yang mencintainya dengan diam-diam.
Ketika Efek Rumah Kaca naik ke panggung, malam pun menjadi doa. Lagu-lagu mereka menembus angin pelabuhan, merayakan luka yang ditambal dengan solidaritas, dan harapan yang dikukuhkan dalam nada.
Dua dekade berlalu sejak langkah pertama Kolektif Hysteria. Tapi malam itu di Penta K Labs V, waktu seolah diam. Yang bergerak adalah kesadaran kolektif: bahwa seni bukan sekadar estetika, melainkan cara untuk tetap manusiawi di tengah kota yang makin ramai tapi kian sunyi.
Dan Semarang, malam itu, bergetar. Bukan karena musik atau sorak-sorai, tapi karena ingatan dan keberanian yang tumbuh dari cinta pada ruang—dan mereka yang memilih tak menyerah, walau harus terus bertanya dalam sunyi.
Hysteria adalah kota dalam kota. Sebuah tempat untuk mereka yang tak punya tempat. Dan itu membuatnya tak tergantikan. (Christian Heru Cahyo Saputro)




