Malioboro tak hanya hiruk pikuk wisata dan siluet becak sore itu. Di bawah langit Yogyakarta yang temaram dan berangin, langkah kaki dan tarian warna dari utara Pulau Jawa menyapa dengan penuh semangat. Delegasi Kota Semarang tampil memukau dalam perhelatan Indonesia Street Art Performance, bagian dari Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) ke-IX.
Di bawah komando Wing Wiyarso Poespojoedho Joedho, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, delegasi ini bukan sekadar hadir—mereka menghidupkan jalanan. Langkah para penampil, gurat kostum yang mencolok, serta narasi budaya yang mereka bawa, menjelma sebagai puisi visual di antara bangunan tua dan keramaian Malioboro.

Tak bisa dimungkiri, Semarang adalah simpul dari sejarah panjang dan akulturasi budaya. Dari pesisir Pragota di abad ke-8 hingga era kolonial saat kota ini diserahkan kepada VOC, Semarang terus tumbuh menjadi mosaik kehidupan yang unik. Jejak Laksamana Cheng Ho dan pengaruh para saudagar Arab dan Cina telah mewarnai karakter kota dengan keanggunan tersendiri.
Dalam denyut kotanya, tradisi Jawa berdansa dengan aroma Timur Tengah dan ornamen Tionghoa. Boneka mitologis Warak Ngendhog menjadi simbol dari harmoni tiga budaya tersebut—menggelinding dalam imajinasi rakyat dan turun-temurun diwariskan sebagai kebanggaan.
Warisan dalam Gaya Jalanan
Karya yang dibawa oleh delegasi Semarang dalam JKPI kali ini tak hanya tampil cantik, namun juga penuh makna. Kriya wastra, sulaman tangan, hingga karya seni jalanan hadir sebagai perpanjangan tangan dari jiwa masyarakatnya. Mereka membingkai pusaka menjadi seni kontemporer yang bisa dirasakan dan dinikmati siapa saja—di jalanan, di tengah kerumunan, di antara deru kendaraan dan tepuk tangan.
Menabur Asa Lewat Budaya
Lebih dari sekadar peragaan seni, penampilan ini adalah bukti bahwa kebudayaan bukan barang lama yang usang, melainkan jembatan menuju masa depan. Kota Semarang hadir bukan hanya sebagai kota pusaka, tapi juga sebagai kota masa depan—yang membangun dari akar sejarah, lalu bertumbuh dengan kreativitas warganya.
Perhelatan di Yogyakarta ini menjadi panggung, dan Semarang telah melangkah mantap di atasnya. Sebuah kesaksian bahwa seni dan budaya, jika dirawat dan dibagikan, mampu menyulut rasa bangga dan menyatukan lintas generasi.
((Christian Saputro)




