Oleh Christian Saputro, penyuka teater
Sinar matahari menembus sela dedaunan yang merambati dinding Rumah Akar, Semarang. Meski uasa Semarang siang itu agak menyengat, tetapi lorong-lorong Kota Lama sudah ramai oleh langkah kaki yang menuju satu titik: sebuah pertunjukan yang menjanjikan sesuatu yang lebih dari sekadar tontonan.
Namanya “Puja Rasa”. Dibawakan oleh HAE Theater, ia hadir sebagai bagian dari Penta Klabs V. Namun, sejak awal, sudah jelas bahwa ini bukan teater biasa. Penonton tak lagi menjadi barisan kursi yang memandang panggung dari jauh; mereka adalah bagian dari panggung itu sendiri.
Menyentuh, Mencium, Mengecap Cerita
Di bawah arahan Ajeng Poernomo sebagai sutradara dan Ahmad Fauzi sebagai produser, “Puja Rasa” dibagi menjadi dua sesi: 11.00–12.00 WIB dan 13.30–14.30 WIB. Dalam setiap sesi, suasana diciptakan sedemikian rupa sehingga penonton masuk ke dalam cerita, bukan sekadar menyaksikannya.
Di meja seni interaktif, jemari penonton menyentuh tekstur kain dan benda-benda simbolik. Aroma rempah menguar, mengundang hidung untuk ikut menafsirkan cerita. Ada rasa yang dikecap — bukan hanya rasa pada lidah, tapi juga rasa yang menyelinap di hati. Musik dan dialog mengikat semuanya menjadi satu kesatuan yang hidup.
Ruang Publik sebagai Panggung
Sejak berdirinya pada 1 Januari 2019, HAE Theater telah menghidupkan Semarang dengan karya-karya yang beragam: Luka yang Tak Kunjung Padam, Tatu Sing Ora Bisa Ilang, Blarak, Sebelum Sarapan, hingga Paramita. “Puja Rasa” seolah menjadi pernyataan baru: teater tidak harus berada di gedung megah dengan tirai merah, ia bisa tumbuh di lorong-lorong tua, di antara aroma kopi dan riuhnya kota.
Kota Lama menjadi saksi bagaimana seni bisa meruntuhkan sekat antara pemain dan penonton. Tak ada batas panggung, hanya ruang yang dibagi bersama. Para penampil — Ajeng Poernomo, Nila Dianti, Regina Nusaputera, Ponco Adi Nugroho, Puan Ning, Mahran, dan lainnya — tak sekadar memerankan tokoh, tetapi menjadi jembatan antara dunia realitas dan dunia rasa.
Suara Penonton
“Rasanya seperti masuk ke dunia lain. Semua indra benar-benar diajak bekerja,” ujar seorang penonton usai sesi kedua, matanya berbinar, seolah masih memegang fragmen cerita yang baru saja dilaluinya.
Bagi sebagian, pengalaman ini menjadi kejutan yang menyenangkan. Bagi yang lain, ini adalah penegasan bahwa teater masih bisa beradaptasi, menyentuh, dan relevan di tengah arus hiburan digital.
Di akhir hari, “Puja Rasa” bukan sekadar judul pertunjukan. Ia adalah undangan untuk kembali pada rasa — rasa yang sering hilang di tengah rutinitas, rasa yang jarang kita beri ruang untuk tumbuh.
Di lorong sempit Kota Lama, HAE Theater menunjukkan bahwa seni bukan hanya tentang apa yang dilihat, tetapi tentang apa yang tinggal di dalam hati. Di sanalah “Puja Rasa” akan terus hidup, mewarnai Kota Lama agar tetap terus berdenyut. (*)




