Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka budaya tradisi dan kolektif.
Pagi di Candisari menyimpan kelembapan yang lengket, seperti pelukan kota yang enggan melepas. Dari jalan Dr. Wahidin, serombongan mahasiswa mancanegara berjalan memasuki gedung tua bercat krem—markas Alliance Française Semarang, rumah bagi bahasa Prancis, namun hari itu menjadi panggung bagi Jawa.
Mereka datang dari berbagai penjuru dunia, peserta The Summer SPACE 2025—program yang merangkai akademik dan budaya, hasil kolaborasi USM, UNISSULA, BINUS, UNNES, dan Alliance Française. Tujuannya sederhana tapi dalam: saling mengenal, saling memahami, dan saling menghidupkan warisan yang kadang terlelap.
Sambutan Dra. Kiki Martaty W, Direktur Alliance Française, mengalir seperti air yang menyejukkan dahaga. “Hari ini kita berkumpul bukan sekadar belajar, tapi berbagi. Budaya Jawa adalah jembatan—dan Anda adalah para penyeberangnya,” ujarnya, disambut senyum dan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Ruang aula berubah jadi studio tari. Instruktur dari Sendratasik UNNES mengajarkan Tari Angguk—tarian yang lahir dari tanah Kulon Progo, gerakannya tegas namun lentur, mengangguk mengikuti irama gamelan yang berpadu dengan tabuhan hadrah. Pappim Semthappra dari Thailand dan Danial Givi dari Kanada maju ke depan, mengenakan kostum prajurit Belanda berwarna mencolok. Gerak mereka luwes, mata mereka berbinar, dan ruangan dipenuhi tepuk tangan yang meriah.
Lalu meja-meja beraroma manis dan gurih mulai ditata. Klepon, lumpia, dan jajanan pasar lainnya menunggu di atas piring. Tak ada yang hanya mencatat nama makanan itu di buku; semua mencicipinya, menggigitnya, merasakan gula merah yang meledak di mulut. Di sudut lain, kain batik terbentang, memamerkan motif-motif yang bercerita tentang laut, hutan, dan kehidupan sehari-hari.
Denok dan Kenang, Duta Bahasa Jawa Tengah dan Duta Bahasa BINUS 2025, memimpin sesi bercerita. Dari bibir mereka mengalir legenda Prambanan—kisah cinta, pengkhianatan, dan batu yang membisu di tengah sawah. Para mahasiswa mendengar dengan mata membesar, seolah candi itu berdiri di hadapan mereka.
Waktu berjalan cepat. Seperti pesta, setiap pertemuan punya akhirnya. Foto bersama menjadi penanda: senyum yang mungkin akan pudar di wajah, tapi tetap hidup di ingatan.
Makan siang gudeg menutup hari, meninggalkan rasa manis dan gurih yang bercampur di lidah—persis seperti kenangan yang tercampur antara rumah yang ditinggalkan dan rumah yang baru ditemukan.
Di luar, langit Semarang memucat. Tapi di dalam hati para peserta, kota ini kini punya warna, aroma, dan irama yang akan mereka bawa pulang. (*)