Semarang — Di antara lautan zine dan lapak-lapak kreatif yang memenuhi Semarang Creative Hub dalam gelaran Hysteria Zine Festival 2025, Minggu (17/08/2025), sebuah sudut sederhana memancarkan gema yang berbeda. Di sana, di antara lembaran kertas fotokopi, stiker protes, dan bendera Palestina yang tersemat di dinding, luka sebuah bangsa dibacakan. Bukan melalui pidato, tapi lewat zine—medium literasi alternatif yang bersuara lantang ketika banyak ruang dibungkam.
Zine-zine bertajuk Sex Education in Gaza” dan “Tkhines for Free Palestine” bukan hanya menyingkap penderitaan, tapi juga mengajukan harapan: bahwa pengetahuan dan keberanian adalah senjata perlawanan. Zine ini ditulis dalam bahasa kasih sayang dan kemarahan—tentang anak-anak yang tumbuh di bawah bayang-bayang drone, perempuan yang kehilangan rumah dan hak tubuhnya, serta warga yang berjuang bertahan di tengah puing-puing kemanusiaan.
“Ini bukan hanya tentang perang,” ujar salah satu peserta, “tapi tentang bagaimana kita menolak lupa bahwa Palestina adalah luka peradaban.”
Zine-zine itu membawa narasi tak hanya tentang kekerasan, tapi juga tentang perlawanan—melalui edukasi seks di wilayah pendudukan, hingga ajakan memakai masker sebagai simbol resistensi terhadap pengawasan negara. “Kami menolak anggapan bahwa nyawa sebagian orang lebih murah dari yang lain,” tulis salah satu zine.
Festival ini memberi ruang bagi suara yang sering diabaikan: suara solidaritas, suara kemanusiaan. Di tengah selebrasi zine, Palestina hadir sebagai pengingat: bahwa kebebasan sejati adalah ketika tak ada satu pun bangsa yang tertindas, dan setiap luka memiliki hak untuk didengar. (Christian Saputro)




