Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni rupa tinggal di Tembalang, Semarang,
Kartunis Djoko Susilo ikut ambil bagian memarakkan perhelatan pameran kartun yng ditaja Persatuan Kartunis Indoenesia (Pakarti) di Tan Artspace, Semarang. Bersama 16 Kartunis Indonesa berkelas Internasional dalam pameran yang menggotong tema : Merdeka atau Mati Kutu, Djoko mennampilkan karyanya bertajuk : “Runtuhnya Keadilan”. Pameran yang dibuka ,Minggu 27 Agustus 2025 akan berlangsung hingga 28 Agustus 2025.
Di atas kanvas berukuran 50 x 50 cm, garis demi garis yang dilabur akrilik itu tak sekadar menampilkan gambar. Ia hadir sebagai luka yang dibuka, sebagai jeritan yang tak selesai, sebagai pengingat getir bahwa negeri ini belum benar-benar pulih dari penyakit lamanya: runtuhnya keadilan.
Karya Djoko Susilo, kartunis asal Kaliwungu, Kendal, yang sejak lama mengisi halaman Suara Merdeka, menamakan kartunnya dengan gamblang: Runtuhnya Keadilan (2025). Judul yang telak, sekaligus telanjang. Ia bukan kiasan yang membalut, melainkan pernyataan yang menghantam.

Kartun yang Menggugat
Sejak masa mahasiswa, Djoko Susilo dikenal tajam mengulik persoalan bangsa melalui gambar. Dua kali ia meraih penghargaan Anugerah Adinegoro—penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik di Indonesia—sebuah capaian yang menandai kecerdasan satir dan kedalaman kritiknya. Kini, di tengah pameran “Merdeka atau Mati Kutu”, ia kembali menggoreskan kegelisahannya: masihkah rakyat bisa percaya pada para pemangku negeri ini?
Melalui Runtuhnya Keadilan, Djoko menyinggung kenyataan yang sejak lama mengendap di hati rakyat: bahwa keadilan kerap terasa seperti barang mewah, mahal, bahkan sulit didapatkan. Rakyat kecil sering diposisikan sekadar “alas kaki”, dipanggil hanya saat dibutuhkan—saat pemilu, saat legitimasi harus ditegakkan. Setelah itu, suara mereka larut dalam kebijakan yang lebih menguntungkan penguasa dan kroninya.
Tanah rakyat bisa disita dengan dalih pembangunan. Rekening bisa dibekukan dengan alasan yang kabur. Pajak mencekik, sementara para koruptor yang nyata-nyata menggerogoti uang negara justru mendapat amnesti dan abolisi. Ironi itu yang ditelanjangi Djoko, dengan satire yang perih namun jernih.
Dari Gadget ke Negara
Djoko bukan sekali ini menyentil paradoks sosial. Karya yang membawanya meraih Adinegoro 2019 menyoroti anak-anak yang larut dalam candu gawai, meninggalkan bola dan permainan nyata. Satirenya sederhana, namun dalam: ketika masa depan bangsal dikuasai layar, adakah ruang tersisa untuk kebersamaan?
Kini, lewat Runtuhnya Keadilan, ia bergeser ke panggung yang lebih besar: tubuh negara. Jika pada karya sebelumnya ia mengingatkan bahaya keterasingan sosial akibat teknologi, maka kali ini ia menyoroti keterasingan rakyat dari hak paling mendasar: keadilan.
Jeritan Sunyi dari Kaliwungu
Djoko Susilo, yang lahir di Kendal pada 30 Oktober 1970, bukan sekadar kartunis. Ia adalah saksi yang mencatat dengan kuas dan tinta. Dari sudut Kaliwungu ia menggambar, namun gema kritiknya menjalar ke ruang-ruang publik. Ia seperti hendak mengatakan: keadilan di negeri ini bukan runtuh sekali, melainkan runtuh berkali-kali, menimpa rakyat yang justru mestinya dilindungi.
Kartun baginya adalah doa yang getir, sekaligus gugatan yang keras. Sebuah peringatan bahwa tanpa keadilan, merdeka hanyalah slogan kosong.
Sebuah Pertanyaan Terbuka
Maka, di hadapan karya Djoko, kita dipaksa bertanya: masihkah kita percaya pada pemangku negeri ini? Apakah merdeka berarti hanya berganti penguasa, namun tetap hidup di bawah aturan yang timpang?
Kartun Djoko tidak menawarkan jawaban. Ia justru menyalakan keresahan. Karena mungkin, dari keresahan itulah lahir keberanian untuk kembali menagih keadilan. (*)




