Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis dan Pengamat Seni Rupa tinggl di Tembalang, Semarang.
Di balik senyum bersahaja seorang guru seni di Semarang, tersimpan keberanian yang jarang ditemui: keberanian untuk melawan dengan cara yang halus, namun menyengat. Dialah Kustiono, atau yang akrab dipanggil Tiyok Black—kartunis, pelukis, sekaligus pendidik, yang menjadikan garis dan warna sebagai peluru perlawanan.
Dalam pameran “Merdeka atau Mati Kutu” yang digelar Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti) di Tan Artspace, Semarang, Tiyok menghadirkan karya yang menusuk: “Merdeka ato… Mati.” Judulnya mungkin terdengar seperti permainan kata, namun sesungguhnya ia adalah sindiran pahit. Tiyok menggugat paradoks zaman ini: ketika para pencuri uang rakyat justru dilepaskan dari jerat, sementara masyarakat kecil terus dicekik kebutuhan hidup.
Lewat satir visualnya, Tiyok mengisyaratkan bahwa kemerdekaan yang hanya dinikmati segelintir orang sama artinya dengan kematian harapan bagi banyak jiwa. Gambar-gambarnya mungkin sederhana, tapi di balik kelucuan karikatural itu tersembunyi sebuah pertanyaan besar: sudahkah kita benar-benar merdeka?
Lahir di Semarang, 31 Mei 1973, Tiyok dibesarkan oleh dunia seni rupa UNNES. Dari sana ia menapaki jalan sebagai ilustrator profesional, sempat bekerja di majalah anak INO milik budayawan Arswendo Atmowiloto, hingga berkarya di penerbitan seperti Aneka Ilmu dan Tiga Serangkai. Dunia komik dan karikatur baginya bukan sekadar arena bermain, melainkan medan untuk merawat kepedulian sosial.
Sejak pameran perdananya tahun 1994, karya Tiyok hadir di berbagai ruang seni, dari kampus hingga galeri nasional. Ia terlibat dalam pameran Karikatur Guru Bangsa di UIN (2017), melintas forum internasional seperti Nasreddin Hodja Catalogue (2018), menjadi finalis KPU Jatim (2024), hingga masuk jajaran Cartoon Contest Jambi (2023). Kini, selain aktif berkarya, ia mengajar di SMAN 16 Semarang—mewariskan semangat kritis pada murid-muridnya.
Bagi Tiyok, kartun bukan hanya humor. Ia adalah senjata lembut: tidak menebas, tetapi mengetuk kesadaran. Tidak menghancurkan, tetapi mengguncang nurani. “Kartun itu keberpihakan,” ujarnya dalam sebuah kesempatan. “Ia cara kita bicara, saat kata-kata tak lagi cukup.”
Dengan karya “Merdeka ato… Mati”, Tiyok mengingatkan bahwa bangsa ini tengah berada di persimpangan: membiarkan kebusukan berkuasa, atau memilih melawan dengan pena. Karena bila keadilan terus dikorupsi, rakyat tak hanya akan mati kutu—mereka bisa mati sungguhan. (*)




