Catatan Kecil : Christian Heru Cahyo Saputro, jurnalis dan pengamat seni rupa, tingal di Tembalang, Semarang.
Rabu malam biasanya menjadi waktu jeda. Setelah seharian bergulat dengan laporan, rapat, atau deru jalanan, banyak profesional muda memilih melepas penat dengan secangkir kopi atau obrolan ringan. Namun, bagi sekitar dua puluh lima anak muda Semarang, lelah selepas kerja justru mereka ubah menjadi garis, warna, dan percakapan kreatif. Mereka tak kalah dari profsional muda Bandung dan Surabaya yang sudah dulu meulai SPK.
Malam itu, 20 Agustus 2025, mereka berkumpul di Ruang Bermain Kolektif Hysteria, lantai dua Rumah Po Han, Kota Lama. Suasana berbeda terasa sejak langkah pertama menaiki tangga: bukan aroma kopi yang menyambut, melainkan kertas, tab, pensil, dan tawa yang menyatu. Ada yang asyik menggambar di kertas, ada yang sibuk menorehkan garis di layar tablet, sementara yang lain terhanyut dalam percakapan.
Elizabeth Michllina, misalnya, sudah rampung dengan sketsanya. Ia memilih duduk santai sembari berbincang dengan teman. “Terima kasih ya, Pak, sudah mengunjungi kami,” ucapnya ramah, senyumnya selebar goresan yang baru selesai dibuatnya.
Inilah Sketsa Pulang Kerja, komunitas yang lahir dari kerinduan sesame sahabat yang tak ingin hobinya terkubur oleh kesibukan kerja. Makin hari anggotanya makin banyak. Maka, tercetuslah ide bertemu seminggu sekali sepulang kerja. Sederhana, tanpa target besar, hanya ingin tetap menggambar dan tetap bersua.
“Karena dari SMA kami suka menggambar. Jadi waktu sama-sama sudah kerja dan kembali di Semarang, kami mikir kenapa nggak diterusin aja. Dari situ, kami namai kegiatan ini Sketsa Pulang Kerja,” ujar salah seorang sembari nyeket.
Komunitas ini tumbuh cepat. Dari sekadar lingkaran kecil alumni SMA, melebar ke teman-teman lain, bahkan orang baru yang membawa teman baru. Tak ada syarat harus jago menggambar. Doodle sederhana, mewarnai polos, hingga eksperimen dengan Corel atau aplikasi digital semua diterima. Yang penting hadir, berbagi, dan merasa ringan.
Agar tak monoton, setiap pekan ditentukan tema: dari memvisualisasikan lagu dangdut, kastil Eropa, suasana Halloween, sampai sekadar menerjemahkan ungkapan hati. Lokasi pun berpindah: kadang di coffee shop, kadang di ruang komunitas seperti Hysteria.
Yang menarik, kegiatan ini bukan sekadar “iseng”. Beberapa anggota mulai menekuni jasa kreatif: melukis di sepatu, membuat ilustrasi sebagai kado istimewa, hingga menghasilkan artwork untuk pameran kecil-kecilan. “Ke depan, kami ingin ada kolaborasi dengan komunitas lain, biar makin berkembang,” tutur seseorang , matanya berbinar.
Malam itu, Ruang Bermain Hysteria benar-benar jadi ruang hidup. Di sana, sketsa bukan sekadar coretan. Ia adalah jeda dari rutinitas, medium silaturahmi, sekaligus ruang aman untuk berekspresi tanpa takut salah.
Barangkali inilah makna terdalam dari Sketsa Pulang Kerja: ketika sisa energi selepas kerja tidak habis dalam keluhan, tetapi berubah menjadi garis-garis sederhana yang justru menyegarkan. Sebuah perlawanan kecil, melawan penat dengan kreativitas. (*)




