Oleh: Christian Heru Cahyo Saputro, jurnalis penyuka musik
Di Monod Huis, jantung Kota Lama Semarang yang tua dan bersejarah, sebuah ruang berubah menjadi telinga. Pada 20–24 Agustus 2025, Komunitas Miarsa menabuh senyap, menjelma bunyi kota menjadi pengalaman yang tak hanya terdengar, tapi terasa. Pameran bertajuk Sem(b)arang bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan perenungan kosmik tentang bagaimana kita — manusia urban — telah lama abai pada suara kota yang hidup, tapi sering kita bisukan.
Dikomandoi oleh Om Usman, bersama para punggawa muda seperti Tsaqiva, Juni, Januba, Akbar, Arkaisme, dan Galuh, Miarsa menafsirkan Semarang melalui bebunyian: dari deru angkot tua di Jalan Pemuda, desir angin Gunungpati, riuh pasar Johar, hingga detak sunyi lorong Kota Lama saat malam tiba. Semua dikumpulkan, disulam, dan dihidangkan lewat instalasi seperti Noise Box dan Lapak Dengar, yang tak hanya menyentuh indera, tapi membuka ruang kontemplasi.
Salah satu karya paling menyentuh adalah Apa yang Kau Ingat tentang Bukit?, sebuah kolase bunyi dari kawasan perbukitan Semarang yang menggugah rasa nostalgia dan ekologis. Di sisi lain, sembilan komposisi bunyi lainnya merayakan kekacauan indah khas urban — seakan-akan Semarang sendiri sedang berbicara dalam bahasa frekuensi dan gema.
Miarsa tidak ingin kita sekadar mendengar. Mereka ingin kita “mendengarkan”. Dalam dunia yang visual dan bising, komunitas ini menantang kita: Apakah kita masih peka pada suara di balik suara? Pada yang riuh tapi sunyi? Pada kota yang memanggil kita, bukan dengan baliho, tapi dengan detak jantungnya?
Sem(b)arang bukan hanya tentang Semarang. Ia adalah tentang bagaimana kita kembali jadi manusia yang mau berhenti sejenak, menutup mata, dan membiarkan kota masuk ke dalam hati — lewat telinga.(*)




