Oleh : Christian Heru Cahyo Saputro
Semarang sore itu berwarna jingga, ketika Gedung Oudetrap di Kota Lama dipenuhi langkah orang yang haus akan cerita. Semarang Writer’s Week (SWW) memasuki tahun kelimanya, membawa tema “Telisik Celah”—sebuah undangan untuk menoleh pada ruang-ruang yang sering terlewat, yang tumbuh diam-diam di sela-sela kota.
Di kursi-kursi yang berjejer rapi, suara-suara kecil menggema. Bukan sekadar pembacaan buku atau diskusi tentang teks, melainkan percakapan yang menghidupkan kembali wajah kota dari perspektif mereka yang jarang disapa: perempuan pesisir, waria yang membangun ruang aman, anak-anak yang belajar mendongeng, hingga penyandang disabilitas yang menyalakan nada di tengah keterbatasan.
“Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis,” ujar Bambang Suranggono, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Semarang, dalam pembukaan. “Ia adalah jembatan untuk mendengar, memahami, sekaligus menyuarakan kelompok rentan.” Ucapannya bagai benang merah yang mengikat keseluruhan acara: bahwa literasi adalah perihal keberanian mendengar.
Hari pertama, diskusi “Telisik Celah Kota” menghadirkan narasi yang kadang terabaikan. Nella Ardiantanti Siregar dari PekaKota Institute menegaskan bahwa suara warga lokal—yang seringkali lebih jujur dan apa adanya—bisa menjadi penyeimbang narasi profesional. “Celah-celah kota justru menyimpan cerita paling autentik tentang pembangunan,” tambahnya. Celah yang ia maksud bukan retakan, melainkan ruang persemaian identitas dan daya tahan.
Hari kedua, ruang berbicara dipenuhi suara perempuan. Forum “Menjejak Perempuan di Celah Kota” mempertemukan Girl Up Semarang, KPPI Pesisir, dan Disko Pantura. Di sana, perempuan bukan hanya sebagai penonton sejarah, tetapi penopang komunitas. Ada kisah tentang data yang dijadikan senjata melawan kekerasan, kreativitas UMKM perempuan pesisir, hingga ruang lintas identitas yang menolak sekat-sekat lama.
Di sudut lain, komunitas waria Perwaris Satu Hati Semarang menggelar lokakarya bertajuk “Makeup sebagai Medium Narasi Waria.” Di tangan mereka, kuas dan palet warna berubah menjadi bahasa tubuh yang menantang stigma. Ketua Perwaris, Silvy Mutiari, menuturkan bahwa komunitas ini bukan sekadar wadah, melainkan rumah: ruang aman untuk belajar, bekerja, dan percaya diri. Di mata mereka, keberadaan adalah bentuk perlawanan yang paling puitis.
Hari terakhir, anak-anak dan penyandang disabilitas mengambil alih panggung. Tawa kecil terdengar ketika kegiatan “Dongeng dan Dolanan” berlangsung. Goresan krayon dalam sesi “Menggambar Kota Impian” menjadi penanda bahwa masa depan kota tak pernah lepas dari imajinasi mereka. Sementara itu, musik yang dimainkan Husein dan Farah, dua sahabat dengan disabilitas, membuat penonton terdiam—suara mereka menjelma menjadi kesaksian bahwa keterbatasan fisik tak pernah membatasi jiwa.
Di sela-sela diskusi, bazar buku menggeliat. Buku-buku puisi, cerita pendek, novel sejarah, hingga wacana urban tersusun rapi di meja. Pengunjung berhenti, menyentuh sampul, mencium aroma kertas, lalu membawa pulang gagasan. Bazar itu menjadi penanda bahwa literasi bukan sekadar wacana, tetapi juga pertemuan intim antara tangan, mata, dan rasa ingin tahu.
Tiga hari itu, Semarang seakan menjadi panggung tempat kota berbicara lewat suara-suara marginalnya. Dari perempuan yang menjaga ketahanan komunitas, waria yang menolak dipinggirkan, anak-anak yang menuliskan mimpi, hingga penyandang disabilitas yang menyalakan harmoni. Semua menegaskan satu hal: bahwa kota yang manusiawi lahir dari keberanian mendengar mereka yang sering dilupakan.
SWW V bukan sekadar festival literasi. Ia adalah perayaan keberagaman, ruang solidaritas, dan penanda bahwa celah-celah kota bukanlah kekurangan, melainkan jalan masuk menuju kota yang lebih inklusif. (*)




