Catatan : Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis penyuka seni tinggal di Temblang, Semarang.
Di sebuah lorong kecil bernama Jalan Stonen No. 29, di Semarang yang hiruk namun kerap melupakan kampung-kampungnya, berdiri sebuah rumah yang tak menyerupai kantor formal atau galeri modern.
Tidak ada resepsionis dengan jas rapi, tak ada ruangan beraroma pendingin udara. Yang ada adalah meja panjang penuh coretan, dinding yang ditempeli sketsa, poster, dan foto-foto kampung; suara diskusi yang kadang lirih, kadang meledak dalam tawa; aroma kopi yang bercampur dengan cat akrilik. Di sinilah Kolektif Hysteria berdiam, hidup, dan bergerak.
Hysteria lahir pada 11 September 2004—sebuah tanggal yang kemudian tak sekadar jadi catatan administratif, tapi titik mula perjalanan yang berlapis-lapis. Awalnya, ia hanyalah selembar leaflet sastra, dibagikan di trotoar kampus, warung kopi, atau pinggiran acara musik. Tapi seperti benih yang jatuh di tanah basah, ia tumbuh menjadi forum, lalu rumah kolektif, lalu sebuah organisme yang tak mau tunduk pada bentuk tunggal.
Jejak Awal: Dari Trotoar ke Kampung
Co Founder Kolektif Hysteri Akhmad Khairuddinberkisah, di tahun-tahun awal, Hysteria adalah gerak tanpa panggung besar. Mereka berpindah dari satu titik ke titik lain, jadi moderator, panitia, penyeduh kopi, tukang angkut kabel—pekerjaan kecil yang tak masuk headline tapi membentuk fondasi. Tahun 2007 menjadi titik penting. Di Kacangan, di rumah Lek Bowo, mereka terlibat dalam program orang lain. Saat itu, kampung mulai meninggalkan jejak di kesadaran mereka.
Tahun 2008, Gembyong di Gunungpati menjadi ruang pertama di mana mereka menggelar acara sendiri. Kampung masih jadi latar, tapi kini perannya lebih dalam. Dari Watu Tugurejo hingga Tabung, mereka mulai bersentuhan dengan situs, sejarah kecil, dan kehidupan warga yang jarang tersentuh narasi resmi kota.
Titik Balik Bustaman
2013 menjadi tahun penanda. Di Kampung Bustaman, Hysteria memulai riset mendalam, menciptakan ilustrasi tugu, dan menyulut kesadaran warga akan sejarahnya. Proyek Tengok Bustaman melahirkan metode kerja khas mereka: PAR (Participatory Art and Research)—pendekatan yang memosisikan warga sebagai subjek, bukan objek. Mereka tak datang untuk memberi tahu, tapi untuk mendengar, mengajak, dan bersama-sama membentuk karya.
Metode ini menjadi dasar lahirnya program-program seperti Kotak Listrik, Grobak Bioskop, Making Artist, hingga PekaKota Institute yang menggabungkan seni, riset, dan advokasi isu perkotaan.
Menyeberang Benua, Membawa Kampung
2013 juga membuka jalan internasional. Residensi di Jerman selama empat setengah bulan menjadi awal perjalanan yang membawa mereka—dan kampung—menyeberang benua. Dari Berlin ke Paris, dari Tokyo ke Taiwan, dari Singapura ke Inggris, Amerika, hingga Asia Tenggara. Di setiap perjalanan, mereka tak membawa “exotica” kampung sebagai pajangan, melainkan metode mendengarkan dan cara pandang yang berakar di lorong-lorong Semarang.
Penghargaan di Jepang tahun 2020 menjadi salah satu capaian simbolis. Tapi bagi Hysteria, pencapaian sejati adalah ketika metode mereka mulai dipakai orang lain, ketika kampung menjadi subjek pembicaraan di ruang-ruang global.
Rumah di Stonen: Pusat Gerak yang Fleksibel
Sejak 2008, rumah di Jalan Stonen No. 29 menjadi markas. Dari sini, berbagai program lahir: Art Lab, Bukit Buku, Laki Masak—program kuliner yang memadukan gastronomi dan seni—hingga Ditampart, motor panggung multifungsi yang telah berkeliling 17 kota di Jawa Tengah, membawa pameran dan pertunjukan langsung ke tengah warga.
Hysteria bukan sekadar komunitas seni, melainkan ekosistem. Ia bisa menjelma menjadi panggung, buku, mural, forum, riset, atau bahkan jalan setapak di kampung. Ia luwes, tapi berprinsip: kota harus dibicarakan tanpa takut, kampung harus dirayakan tanpa disingkirkan.
Penta K Labs: Merayakan Kota, Mengikat Cerita
Dari semua gelaran, Penta K Labs menjadi ruang dua tahunan yang paling ambisius: sebuah proyek seni site-specific yang merespons ruang dan isu kota secara langsung. Setiap edisi adalah percobaan, setiap percobaan adalah peluang untuk membongkar cara pandang tentang ruang publik dan warga.
Agustus 2025 menjadi momen istimewa. Penta K Labs 5 hadir dengan tema “Tulang
Lunak Bandeng Juwana”, sebagai perayaan 20 tahun Hysteria. Tema ini bukan sekadar permainan kata, tapi metafora tentang kota yang tampak keras tapi sebenarnya rapuh; tentang kelenturan yang justru memberi daya tahan; tentang identitas yang tak bisa dipisahkan dari sejarah perut dan lidah warganya.
Selama festival, Semarang menjadi panggung terbuka: pameran, lawatan kampung, pasar kreatif, forum, pertunjukan, dan aktivasi publik. Semua melibatkan seniman, warga, dan jaringan kampung—menyulam masa lalu, kini, dan kemungkinan masa depan kota.
Dua Puluh Tahun dan Masih Terus Bergerak
Dua puluh tahun bukanlah akhir. Bagi Hysteria, ini hanyalah satu bab dalam buku yang belum selesai.
[24/8, 13.45] christiansaputro: Mereka tetap melihat kota sebagai ruang yang harus dirundingkan, kampung sebagai guru, dan seni sebagai alat untuk merajut keadilan ruang.
Dari leaflet di trotoar hingga festival lintas disiplin; dari rumah sewa di Stonen hingga panggung di 17 kota; dari Bustaman hingga Berlin—Hysteria tetap setia pada satu hal: mendengar, merespons, dan bergerak bersama warga.
Karena seni, bagi mereka, bukan sekadar estetika. Ia adalah cara hidup. (*)




