Catatan : Christian Heru Cahyo Saputro based on realise
Bandar Lampung, 23 Agustus 2025 — Aroma cat akrilik masih terasa pekat di ruang pamer Taman Budaya Lampung. Suara tawa dan perbincangan mengalun di antara lukisan-lukisan yang berjajar rapi di dinding. Ada semangat yang tak hanya terpajang di kanvas, tapi juga hidup dalam tatapan mata para seniman lintas generasi yang berkumpul: tua, muda, dan mereka yang berada di antaranya.
Pameran bertajuk “We Take Action” ini menjadi ruang temu tiga generasi perupa Lampung. Ada wajah-wajah senior yang puluhan tahun malang melintang di dunia rupa, ada pula para seniman muda yang baru berani memamerkan karya untuk pertama kalinya. Bagi Pulung Swandaru, pelukis senior yang hadir dengan kemeja sederhana dan senyum penuh haru, momen ini lebih dari sekadar pameran.
“Rasanya sudah lama sekali ruang seperti ini tidak ada. Saya terharu, karena akhirnya generasi muda bisa tampil dengan karya murni mereka. Ini awal yang baik,” ujarnya sambil menatap sebuah kanvas berwarna hijau yang penuh simbol-simbol kritik sosial.
Di sudut lain, sekelompok perupa muda dari Komunitas Kombir 24 berdiskusi hangat dengan pengunjung. Mereka menjelaskan karyanya yang berupa gedung menyerupai keong kembar, penuh dengan simbol uang, aturan, dan televisi. “Kami ingin menyampaikan keresahan tentang kebijakan yang sering terasa jauh dari rakyat. Kami coba bungkus dengan simbol-simbol yang dekat dengan kehidupan sehari-hari,” kata salah satu anggotanya.
Karya lain yang menarik perhatian datang dari Bunga Ilalang. Lukisannya berjudul “Lampung” berukuran 150 x 150 cm, akrilik di atas kanvas, berhasil terjual pada hari pertama pameran. Bagi Bunga, penjualan itu bukan sekadar transaksi, melainkan bentuk nyata bahwa karyanya menemukan rumah baru. “Rasanya seperti mendapat restu untuk terus berkarya,” ucapnya dengan mata berbinar.
Suasana ruang pamer semakin hangat ketika pengunjung dari berbagai kalangan—dosen seni, mahasiswa, kolektor, hingga masyarakat umum—berbaur, saling memberi komentar dan bertukar pandangan. Taman Budaya Lampung sore itu bukan hanya galeri, melainkan ruang perjumpaan.
Ruang di mana generasi senior memberi teladan, generasi muda menawarkan semangat baru, dan generasi pertengahan menjadi jembatan yang menyatukan.
Ketua Pelaksana Damsi Tarmizi menyebut pameran ini sebagai pertemuan tiga generasi yang kaya warna. “Ada 43 karya dari 40 perupa. Isme dan tekniknya beragam, tapi justru itu yang membuat pameran ini hidup. Masing-masing membawa cerita, pesan, dan semangat,” katanya.
Dari wajah-wajah yang hadir, terlihat jelas bahwa pameran ini bukan hanya tentang lukisan di dinding, melainkan tentang pertemuan—antara masa lalu, masa kini, dan harapan masa depan seni rupa Lampung. (*)




