Langit Kota Lama Semarang malam itu berat dan pekat. Jam menunjuk pukul 23.00 ketika puluhan orang berkumpul di sebuah bangunan tua yang dipenuhi akar beringin raksasa. Hawa lembab menyergap, sementara bayangan pohon melukis siluet aneh di dinding bangunan berlumut. Malam itu, Semarangker berkolaborasi dengan Hysteria menghadirkan sebuah pengalaman lintas batas: Tour Horor “Kunti Ringin”, perjalanan menguak mitos mistis Kota Lama yang selama ini hanya beredar dalam bisik-bisik masyarakat.
“Matikan semua cahaya. Rasakan sendiri,” suara pemandu terdengar lirih, namun cukup untuk membuat bulu kuduk meremang. Dalam kegelapan yang hening, setiap detak jantung terdengar lebih nyaring dari biasanya.
Antara Mitos dan Adrenalin
Komunitas Semarangker, berdiri sejak 2007, lahir dari rasa penasaran sekelompok orang yang awalnya mengaku penakut. Mereka menjadikan rasa takut sebagai pintu untuk memahami mitos, bukan sekadar menghindarinya. Malam itu, kolaborasi dengan Hysteria—komunitas seni dan budaya urban Semarang—membawa penelusuran ke level berbeda: bukan sekadar “uji nyali”, melainkan cara baru membaca kota lewat narasi gaibnya.
Bangunan pertama yang dimasuki adalah sebuah rumah kosong yang disulap menjadi rumah hantu. Dekorasi kain putih, properti menyeramkan, hingga suara samar menambah suasana mencekam. Peserta dibagi dalam formasi, sebagian diminta berjauhan, sebagian lain berdiri sendiri di sudut-sudut gelap. Saat lantunan tembang Lingsir Wengi menggema, ruangan kosong itu seakan benar-benar hidup, seolah menyingkap cerita yang bersemayam di dinding berdebu.
Perjalanan berlanjut ke Gedung 1866. Lantai tuanya rapuh, udara penuh debu, dan tangga yang berderit tiap kali diinjak. Pemandu kembali mengatur formasi, meminta peserta mematikan senter, lalu membiarkan tembang Jawa mengisi ruang. Di balik sunyi, imajinasi seakan memanggil bayangan masa lalu—tentara kolonial, pedagang Tionghoa, atau roh-roh penasaran yang tak pernah benar-benar pergi.
Puncak di Rumah Akar
Rute terakhir adalah Rumah Akar, bangunan dengan pintu masuk terjal yang dilingkupi batu basah dan lumut. Akar-akar pohon menjuntai dari atap, seperti tangan-tangan raksasa yang hendak meraih siapa saja yang lewat. Di sinilah “puncak” tur benar-benar terasa. Peserta ditantang untuk berdiri sendiri di kamar mandi tua, lorong gelap, hingga ruang terbuka yang diyakini “bertuan”.
“Ini bukan acara kesurupan,” tegas panitia sejak awal. Yang mereka suguhkan bukan undangan untuk berinteraksi dengan makhluk gaib, melainkan menghadirkan ruang refleksi: bagaimana ketakutan bisa berubah menjadi pengalaman kolektif, bagaimana cerita-cerita mistis yang diwariskan leluhur tetap hidup di antara arsitektur Kota Lama.
Antara Seni dan Mistis
Bagi Hysteria, kolaborasi ini bukan hanya perihal sensasi horor. Penelusuran malam itu adalah cara lain membaca ruang kota—bahwa Kota Lama Semarang bukan hanya situs kolonial, tetapi juga ruang imajinasi yang dibentuk oleh mitos, cerita rakyat, dan pengalaman emosional warganya.
Sementara Semarangker, yang namanya diambil dari gabungan “Semarang” dan “Angker”, konsisten menjaga karakter unik mereka: memecahkan mitos sekaligus menguji adrenalin. Komunitas ini bahkan kerap jadi rujukan rumah produksi nasional, dari program televisi Dunia Lain hingga Jurnal Risa.
Malam itu, kolaborasi keduanya menegaskan satu hal: horor bukan hanya soal rasa takut, tapi juga bagian dari budaya. Kota Lama Semarang pun bukan sekadar peninggalan arsitektur, melainkan ruang hidup yang menyimpan lapisan-lapisan tak kasatmata.
Ketika jam merayap menuju pukul 01.00, tur ditutup dengan doa singkat. Peserta meninggalkan bangunan dengan wajah campur aduk: lega, letih, sekaligus puas. Seperti keluar dari mimpi buruk yang anehnya justru ingin mereka ulangi suatu hari nanti.
Setelah memasuki rumah hantu, langkah kaki membawa rombongan menuju Gedung 1866, bangunan tua yang berdiri di samping Monod Diephuis. Lantai pertamanya hanya berisi tangga menuju lantai dua yang rapuh, sementara lantai selanjutnya menghadirkan ruang luas berdebu yang menandakan betapa lamanya bangunan itu ditinggalkan. Di sinilah tour guide kembali mengatur formasi, meminta semua peserta memadamkan cahaya dan mengheningkan suasana, sebelum akhirnya memutar lagu Lingsir Wengi yang seketika membuat bulu kuduk berdiri.
Nada lirih yang menggema dalam gelap menambah ketegangan yang tak terbendung.
Puncak penelusuran adalah Rumah Akar, sebuah bangunan tua dengan jalan masuk yang terjal, dipenuhi batu-batu besar dan daun basah sisa hujan. Meski medan licin dan berbahaya, para pengunjung tetap melangkah, rasa penasaran yang dirasakan mampu mengalahkan rasa takut dalam diri mereka. Di dalamnya, para pengunjung diajak menyusuri lorong, kamar mandi, dan ruang-ruang lain yang dipercaya menyimpan energi gaib. Pada formasi pertama, semua diminta menjaga jarak agar bisa merasakan sensasi mencekam sendirian. Kemudian, dalam formasi kedua, beberapa pengunjung ditantang untuk berdiri sendiri di titik-titik tertentu, seperti kamar mandi yang disebut “bertuan”, sementara yang lain dianjurkan untuk mencari tempat ternyaman dengan jarak yang cukup jauh antar satu sama lain. Ketika semua lampu kembali dipadamkan, hanya cahaya bulan yang samar menembus celah-celah bangunan. Saat Lingsir Wengi kembali diputar, kesunyian mendadak terasa penuh. (Catatan Chritian Saputro berdasarkan kisah Sabrina, salah satu peserta tour).




