Oleh Christian Heru Cahyo Saputro, Jurnalis dan Pengamat Seni Rupa tinggal di Semarang
Langit Semarang senja itu tak hanya menampung cahaya matahari yang hendak pulang, tetapi juga gema rindu kepada seorang maestro. Pada Senin, 25 Agustus 2025, ruang Sekretariat Dekase disulap menjadi ruang permenungan yang khusyuk: menyambut “Mijil”, sebuah pameran seni rupa untuk memperingati 100 tahun kelahiran Ki Narto Sabdo, dalang agung yang tak pernah selesai diceritakan.
“Mijil” bukan sekadar judul, ia adalah mantra kelahiran, semacam bisik lembut yang keluar dari rahim kebudayaan Jawa.
Dalam tradisi tembang macapat, mijil menyuarakan awal mula perjalanan, kehadiran baru, atau bahkan luka yang memerlukan perenungan.
Maka, ketika Basuki, Gunawan Effendi, dan Muji Konde memilih kata ini sebagai tajuk pameran mereka, mereka tak hanya memperingati sosok Ki Narto Sabdo, tetapi juga melahirkan kembali semangatnya dalam medium yang lain—kanvas, warna, dan rupa.
Prof. Dhanang Respati Puguh, sejarawan Undip yang membuka pameran, menyebut bahwa mijil adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini. Dalam konteks Ki Narto Sabdo, mijil menjadi bentuk kebangkitan ingatan. Ia bukan nostalgia yang meninabobokan, tapi ingatan yang menyalakan bara.
Basuki, yang pernah mengajar selama 13 tahun dan berteater dalam panggung yang penuh peluh, kini menumpahkan jejak hidupnya dalam goresan yang senyap tapi nyaring. Gunawan Effendi, perupa sekaligus penasihat budaya, menghadirkan ingatan yang subtil dan jenaka. Karyanya seperti ajakan untuk tersenyum di tengah kegetiran zaman. Sementara Muji Konde, yang darahnya selalu mengalir bersama denyut rakyat, menjadikan karya-karyanya sebagai ladang kritik dan tafsir terhadap ketimpangan sosial, tak lupa tetap membiarkan puisi bernapas dalam tiap lukisan.
Pameran Mijil bukan hanya penghormatan. Ia adalah kelahiran gagasan, lahirnya keberanian, dan kesediaan untuk mengingat. Di tiap bingkai dan tiap warna, ada Ki Narto Sabdo yang hadir dalam bentuk lain: bukan sebagai dalang, tetapi sebagai ruh yang menjelma dalam ketulusan para perupa untuk menjaga api kebudayaan.
Di tengah dunia yang terus bergerak, mijil adalah ajakan untuk berhenti sejenak, lalu bertanya: dari mana kita datang, dan untuk siapa kita mencipta? (*)




