SEMARANG — Pagi itu, Selasa 26 Agustus 2025, Gedung Prof. Sudarto, S.H., Kampus Universitas Diponegoro, Tembalang, menjelma menjadi ruang yang syahdu. Cahaya matahari menerobos kaca-kaca tinggi, seakan turut menyinari perjalanan panjang tiga sosok akademisi yang hari itu menerima penghormatan dalam Upacara Purna Adi Cendekia.
Mereka adalah Prof. Drs. Iriyanto Widisuseno, M.Hum., Prof. Dr. dr. Hardhono Susanto, PAK., dan Prof. Dr. Ir. Endang Dwi Purbayanti, M.S. — tiga nama yang selama puluhan tahun mewarnai sejarah Undip. Hari ini mereka bukan sekadar dilepas dari tugas akademik, melainkan dirayakan sebagai teladan, sebagai api yang terus menyala dalam ingatan universitas dan generasi penerus.
Prosesi yang Penuh Arti
Upacara dimulai dengan langkah khidmat para pimpinan: Ketua Senat Akademik, Rektor, hingga Majelis Wali Amanat. Lagu Indonesia Raya berkumandang, disusul hening yang mengikat semua jiwa dalam doa. Atmosfer gedung terasa lebih dari sekadar seremoni: ia adalah perjumpaan antara rasa syukur dan penghormatan.
Ketua Senat Akademik dalam pidatonya menekankan bahwa ketiga guru besar ini bukan hanya pendidik, tetapi penabur benih nilai: keilmuan, integritas, dan keteladanan. Benih itu, kata beliau, akan terus tumbuh dalam diri mahasiswa dan para dosen muda.
Wejangan Sang Purnawan
Satu per satu, ketiga guru besar menyampaikan Pidato Purna Adi Cendekia. Kata-kata mereka bukan sekadar refleksi perjalanan akademik, melainkan juga wejangan penuh makna—tentang kesetiaan pada ilmu, tentang sabar dalam mengabdi, dan tentang pentingnya menjaga marwah pendidikan di tengah arus zaman.
Di antara hadirin, banyak mata yang berkaca-kaca. Bukan karena sedih melepas, melainkan karena bangga pernah berjalan bersama mereka.
Pesan Rektor: Cahaya yang Tak Padam
Dalam sambutannya, Rektor Undip, Prof. Dr. Suharnomo, S.E., M.Si., menegaskan bahwa purnatugas bukanlah akhir.
“Keteladanan mereka adalah cahaya yang akan terus menyinari perjalanan Undip. Hari ini kita tidak melepas, tetapi merayakan kelahiran baru dalam bentuk pengabdian yang berbeda,” ucapnya.
Ucapan itu disambut tepuk tangan panjang, seakan menjadi janji bahwa warisan nilai yang ditinggalkan akan dijaga bersama.
Haru yang Menjadi Kenangan
Acara ditutup dengan doa, lagu Syukur, dan ucapan selamat dari segenap sivitas akademika. Satu per satu tamu memberikan salam hormat, mengulurkan tangan, atau sekadar menundukkan kepala dengan penuh hormat. Suasana haru mengalir, namun disertai kebanggaan.
Bagi Undip, Purna Adi Cendekia bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah upacara jiwa—cara universitas merawat ingatan, menghormati jasa, dan memastikan bahwa ilmu pengetahuan tumbuh di atas fondasi yang kokoh.
Tiga guru besar itu mungkin telah menutup satu bab pengabdian formal.
Namun dalam sejarah Undip, nama mereka akan terus terbaca: sebagai guru, sebagai penuntun, sebagai cahaya yang tak pernah padam. (Christian Saputro)




