Catatan Christian Heru Cahyo Saputro dari Sudut Tekodeko Koffiehuis
Di sebuah sudut Kota Lama, pada bangunan kolonial bernama Tekodeko Koffiehuis, Jumat malam itu, ruang yang biasanya dipenuhi aroma kopi dan percakapan ringan berubah menjadi ruang wacana: Artist Talk Penta K Labs 5. Sebuah perjamuan gagasan, tempat 17 kolektif dan seniman Semarang menyulam cerita, menafsir kota, serta menguji bagaimana seni bisa lahir dari dinding-dinding sejarah yang lapuk, dari jalanan yang berisik, dari denyut kota yang tak pernah benar-benar tidur.
Gelaran ini bukan sekadar temu seniman, melainkan perayaan dua dekade perjalanan Kolektif Hysteria, yang sejak 2004 menyalakan obor kegelisahan di kota pesisir ini. Adin Hysteria—direktur sekaligus co-founder—menyebutnya sebagai panggung terbuka, sebuah undangan untuk komunitas agar tampil, hadir, bersuara. “Kami ingin setiap kelompok, sekecil apa pun, punya ruang untuk menyatakan diri,” katanya.
Suara-Suara dari Ruang Kota
Malam itu, cerita lahir dari berbagai wajah. Ajeng dari Teater HAE berbicara dengan nada getir sekaligus optimis: teater baginya adalah rumah tempat mereka selalu kembali. Meski dana sering kali harus dicari sendiri, meski sponsor datang tak menentu, semangat tetap dipelihara. “Kami ingin teater bisa hadir lebih profesional, lebih terstruktur. Tapi bagaimanapun, kami bertahan karena cinta.”
Dari arah lain, Yessi dari Komunitas Setitik mengisahkan perjalanan memperkenalkan batik tulis ke anak-anak muda. Bukan di galeri atau ruang eksklusif, melainkan di kafe, di jalan, di ruang-ruang pertemuan yang cair. “Kami mendatangi orang, bukan menunggu orang datang. Dari situ, justru lahir banyak kolaborasi,” ujarnya. Batik bukan sekadar motif, melainkan narasi panjang yang harus disentuh, dipelajari, dan diwariskan.
Sementara itu, dari Yuma mengingatkan sifat khas orang Semarang: gumunan. Rasa heran yang bisa melahirkan olok-olok, tetapi juga mendorong penciptaan. “Kami dianggap aneh, gila. Tapi justru dari kegilaan itu lahir sesuatu yang baru,” ucapnya, disambut anggukan beberapa seniman lain.
Adin kembali menambahkan potret ragam pelaku seni di kota ini: ada yang serius membangun pasar, ada yang mengikuti tren, ada pula yang hanya “iseng” namun tetap memberi warna. Bagi Hysteria, semua layak hadir, karena Semarang tak bisa digerakkan oleh satu wajah tunggal.
Menyulam Tradisi Baru
Di tengah percakapan, seniman rupa Giovanni Susanto menekankan pentingnya saling kunjung, saling mengapresiasi. “Kita sering berjalan sendiri-sendiri. Padahal, kalau saja tiap komunitas mau hadir di acara kelompok lain, Semarang akan lebih hidup.” ujar perupa yang juga sering dianggap “aneh” karena gerakannya.
Begitulah denyut dialektika seniman Semarang: antara keterbatasan dana dan melimpahnya ide, antara keinginan untuk mandiri dan kebutuhan akan dukungan, antara kegigihan menjaga tradisi dan keberanian menciptakan pendekatan baru.
Penta K Labs 5 akhirnya tampil bukan sebagai sebuah festival seni belaka, melainkan catatan perjalanan kota. Semarang yang pintar “nelikung keadaan”, kata Adin, punya cara khas untuk menyalakan lampu kecil dalam gelapnya keterbatasan.
Dan malam itu, di ruang yang terisi penuh dengan suara, tawa, dan keresahan, sebuah keyakinan lahir: bahwa seni bukanlah milik segelintir, melainkan denyut bersama. Dari mural 12 meter yang dikerjakan tanpa bayaran, hingga sehelai kain batik yang ditulisi tangan muda, semua adalah bagian dari kota yang terus belajar memahami dirinya sendiri. 20 tahun Hysteria, dan Semarang masih menulis bab berikutnya! Tak akan pernah beringsut meskipun melangkah dalam sunyi ! Bestday, Hysteria ! (*)




