Bandar Lampung – Perubahan iklim kini tak lagi dipandang hanya sebagai krisis lingkungan. Ia hadir sebagai ancaman multidimensi yang memengaruhi tubuh, ruang hidup, dan martabat perempuan, terutama yang tinggal di pedesaan serta wilayah marginal. Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Seksual 2025, Perkumpulan DAMAR bersama Konsorsium PERMAMPU menggelar Diskusi Kritis bertajuk “Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan”, Jumat (29/8/2025).
Dampak Nyata di Lapangan
Bagi perempuan yang hidup bergantung pada tanah dan air, siklus bencana semakin menjerat: kekeringan panjang, banjir bandang, hingga gagal panen. Kondisi ini bukan hanya memperburuk kemiskinan, tetapi juga menutup akses perempuan terhadap layanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi.
Ketika fasilitas kesehatan terdampak, distribusi alat kontrasepsi terganggu, dan layanan ibu-anak terhambat, situasi menjadi semakin kritis. Sekolah-sekolah yang diliburkan akibat banjir juga meningkatkan risiko anak perempuan mengalami kekerasan dan pernikahan usia dini.
Krisis yang Tidak Netral Gender
Diskusi menegaskan bahwa krisis iklim adalah krisis ketimpangan. Perubahan iklim tidak netral gender—perempuan merasakan dampaknya secara lebih berat dan tidak adil. Perkumpulan DAMAR menyerukan perlunya kebijakan dan respons yang menempatkan keadilan gender sebagai prioritas utama.
Dari Suara Komunitas, Menuju Perubahan Kebijakan
Melalui forum ini, PERMAMPU mendorong penguatan kolaborasi antarorganisasi akar rumput, membangun ketahanan komunitas, serta memperkuat advokasi kebijakan yang responsif gender. Pesan yang digaungkan jelas: melawan krisis iklim adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan menegakkan hak-hak perempuan.
Hari Kesehatan Seksual 2025 menjadi pengingat penting: tubuh perempuan adalah bagian dari bumi yang harus dijaga, dan keadilan iklim adalah prasyarat bagi keadilan reproduktif. (Christian Saputro)