Oleh Christian Heru Cayo Saputro, Jurnalis penyuka cerita Panji tinggal di Semrang
Budayawan Taufik Rahzen disaksikan Mantan Mendikbud Prof.Dr Wardiman Djojonegoro menggelar koleksi karyanya lukisan sejarah wayang beber sepanjag 60 meter di Fetival Payung Indonesia (Fespin) XII di Surakarta, 5 – 7 SEpetember 2025.
Di atas bentangan kain mori sepanjang 60 meter, kehidupan berdenyut dalam garis dan warna. Kisah Panji Joko Kembangkuning—sebuah legenda cinta, pencarian, dan perjalanan spiritual Nusantara—terurai dalam 24 episode yang mengalir seperti sungai waktu. Inilah karya monumental yang menghidupkan kembali wayang beber, salah satu seni rupa pertunjukan paling tua di Jawa.
Proyek ini lahir dari gagasan dan kegelisahan seorang budayawan: Taufik Rahzen. Baginya, wayang beber bukan sekadar peninggalan estetis, melainkan manuskrip visual yang merekam jejak kosmologi Nusantara.
Ia melihat kisah Panji bukan hanya sebagai cerita asmara Panji dan Dewi Sekartaji, melainkan metafora tentang keseimbangan hidup, siklus semesta, dan pencarian manusia akan harmoni.
Dari Nusantara ke Rusia
Menariknya, sebelum Indonesia sempat menyaksikan, lukisan epik ini terlebih dahulu menyeberang ke Rusia. Pada 2012, bertepatan dengan penyambutan APEC, karya sepanjang 60 meter ini dipamerkan di Moskow, lalu berkeliling ke dua kota lain selama hampir dua tahun. Baru pada 2014, lukisan tersebut pulang ke tanah air dan ditampilkan dalam pameran naskah Panji di Perpustakaan Nasional RI.
Kisah yang lahir dari tanah Jawa tiba-tiba berdiri di jantung Moskow. Dari balik sapuan kuas Pujianto—sang pelukis yang mengeksekusi gagasan Rahzen—dunia menyaksikan bagaimana budaya Nusantara mampu berbicara dalam bahasa universal: warna, simbol, dan imajinasi.
Panji sebagai Cermin Semesta
Bagi Taufik Rahzen, Panji adalah “mitos hidup”. Ia bukan sekadar kisah klasik kerajaan, melainkan cermin perjalanan jiwa. “Panji adalah kita,” begitu ia kerap menegaskan. Sosok Panji yang berkelana mencari Sekartaji adalah manusia yang mencari dirinya sendiri, mencari seimbangnya hidup di tengah semesta.
Dalam balutan warna krem yang lembut, wayang beber ini menjelma kitab visual—sebuah naskah terbentang yang tidak dibaca dengan kata, tetapi dengan pandangan mata dan rasa batin.
Menyapa Masa Depan
Keterlibatan Rahzen dalam proyek ini bukan semata-mata tentang menyelamatkan seni lama. Ia menghadirkan cara baru untuk menatap masa depan budaya. Dengan membawa wayang beber ke panggung dunia, ia menegaskan bahwa tradisi tidak berhenti pada nostalgia. Tradisi hidup justru karena mampu berdialog dengan masa kini dan menantang masa depan.
Dan benar, lebih dari satu dekade kemudian, gema Panji itu masih bergulir.
Pada Festival Payung Indonesia XII, September 2025, di Taman Balekambang, Solo, tradisi yang sama kembali menyapa publik. Seniman muda Afnan Malay mempersembahkan lukisan wayang beber sepanjang 60 meter, membabar sejarah Nusantara lewat narasi visual yang memikat. Dari Rahzen ke Afnan, dari Panji ke generasi baru, wayang beber menemukan nafas panjangnya.
Epilog: Payung dan Wayang
Ketika ribuan payung terbuka di FESPIN XII, dan wayang beber terbentang di antara pepohonan Balekambang, kita diingatkan: budaya Indonesia bukan artefak beku. Ia adalah ruang hidup, selalu tumbuh, selalu mencari makna. Panji, Rahzen, Pujianto, —semuanya bagian dari perjalanan itu.
Wayang beber sepanjang 60 meter ini tidak hanya mengisahkan Panji dan Sekartaji. Ia juga menceritakan kita: bangsa yang terus berupaya menjaga warisan, merawat akar, namun tetap menatap langit dunia. (*)




